JAKARTA --- Banyak alasan yang disampaikan Kejaksaan Agung terkait perburuan koruptor ke luar negeri dan penyitaan asetnya. Pertama, mereka mengeluhkan mobilitas tinggi sang koruptor sehingga Kejakgung sulit melacak jejaknya. "Orang yang kita cari itu selalu berpindah-pindah tempat, mencari tempat yang paling aman," kata Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin, Kamis (10/4).
Kedua, Muchtar beralasan payung hukum di sejumlah negara, belum sama dengan Indonesia terkait perburuan koruptor itu. Sehingga, misalnya, Tim Pemburu Koruptor Kejakgung sudah berhasil menemukan harta atau koruptor yang diburu, tidak serta-merta bisa dibawa pulang.
"Banyak negara yang belum memiliki payung hukum dengan kita, seperti ekstradisi, dan Mutual legal assistance (MLA) belum ada," sambung Muchtar. Sialnya lagi bagi Kejakgung, justru negara-negara ini yang paling dituju oleh koruptor kakap itu.
"Mereka tahu negara-negara mana yang bisa dijadikan tempat untuk berlindung," lanjutnya. Ini ditambah dengan para koruptor sudah siap diri dengan mengubah kewarganegaraannya. 'Jadi, itu semua kesulitan kita untuk mencari.'
Perihal sudah disahkannya UU Perjanjian Timbal Balik Pidana oleh DPR yang bisa digunakan, Muchtar mengatakan, Kejaksaan Agung akan secepatnya menggunakan UU itu. Ia berjanji akan menggunakan perangkat hukum itu semaksimal mungkin untuk mengejar 15 koruptor yang kini bebas melenggang.
Dalam UU Perjanjian Timbal Balik Pidana itu, sejumlah hal penting terkait perburuan koruptor dan aset diatur secara jelas. Seperti, pengambilan bukti atau pernyataan dari seseorang, pengaturan agar seseorang dapat memberikan bukti atau membantu dalam proses perkara pidana, penyampaian dokumen yang berkaitan dengan proses peradilan, penggeledahan dan penyitaan, serta tindak penyelidikan atas suatu objek dan tempat. (evy )
Sumber www.republika-online.com
Foto www.google.co.id