JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan Azwarmi alias Armi, terdakwa dalam kasus kerusuhan 22 Mei 2019, tidak dapat diterima. Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 26/PUU-XVIII/2020 yang digelar pada Kamis (25/6/2020) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam pertimbangan hukum terhadap perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan Armi, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengutarakan bahwa Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas dengan berlakunya Pasal 182 ayat (4), Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) huruf a dan huruf b KUHAP yang dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Bahkan, sambung Manahan membacakan pertimbangan hukum Mahkamah, dalam permohonan Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang diujikan tersebut dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma.
“Justru Pemohon lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialaminya,” ucap Manahan dalam sidang yang digelar dengan penerapan protokol kesehatan terkait penanganan dan pencegahan persebaran Covid-19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada 13 Mei 2020, Mahkamah telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK. Namun permohonan Pemohon tetap sama sehingga Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, permohonan Pemohon adalah kabur,” jelas Manahan di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Sebagai informasi tambahan bahwa Pemohon dalam perkara a quo merasa telah dirugikan karena dirinya dijatuhi hukuman karena terbukti tanpa hak, menguasai, dan membawa senjata api atau bahan peledak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHAP secara tidak sah. Menurut Pemohon, dirinya dipidana tidak berdasarkan surat dakwaan melainkan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dalam persidangan. Dalam dakwaan, Pemohon didakwa memiliki senjata Mayer kaliber 22 mm dengan peluru kaliber 22 mm sebanyak 3 buah. Akan tetapi, dalam fakta persidangan, alat bukti yang dihadirkan berupa senjata Mayer buatan Jerman dengan peluru sebanyak 5-7 buah. Hal ini yang dianggap Pemohon merugikan.
Selain itu, Pemohon juga berpendapat bahwa dalam pembuktian tidak boleh hanya berdasarkan keterangan saksi dan keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebagaimana alat bukti yang dipertimbangkan hakim dalam mempidana dirinya yang diperoleh dalam proses penyidikan. Dengan demikian hal tersebut harus berdasarkan keterangan saksi dan ahli dalam persidangan agar tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Berikutnya Pemohon juga menilai bahwa dalam menjatuhkan pidana, hakim hanya berpedoman pada keyakinannya, yang seharusnya terlebih dahulu hakim hendaknya mempertimbangkan keterangan saksi dan keterangan ahli terdakwa dan bukan hanya berdasarkan dua alat bukti yang dapat diperoleh dari JPU saja. (Sri Pujianti/tir/NRA).