JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan ini diajukan oleh PT. Korea World Center Indonesia yang diwakili oleh Mr. Gi Man Song, warga negara Korea Selatan yang menjabat sebagai DIrektur Utama PT KWCI, sebuah perusahaan penanaman modal asing di Indonesia. Pemohon mengujikan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU. Pasal 235 ayat (1) UU KPKPU menyatakan, “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun.” Kemudian Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU menyatakan, “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini.”
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, pada Selasa (23/6/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Anwar saat membacakan amar putusan perkara nomor 17/PUU-XVIII/2020 dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat bahwa dalam hal sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan mengenai kewajiban pembayaran utang kepada kreditur tidaklah serta merta dapat dinyatakan pailit. UU KPKPU telah memberikan mekanisme hukum yang jelas yaitu dapat melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tujuan untuk mengadakan rencana perdamaian antara para kreditur dan debitur mengenai restrukturisasi hutang debitur kepada para kreditur yang diharapkan debitur dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan perdamaian. Dengan adanya pengaturan jangka waktu untuk melakukan tahapan-tahapan PKPU termasuk di dalamnya adalah perdamaian antara debitur dan kreditur sebagaimana diatur dalam UU KPKPU, memberikan kesempatan atau waktu yang cukup bagi debitur untuk melunasi utang-piutangnya kepada para kreditur secara keseluruhan atau sebagian berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU. Dengan demikian, norma pasal tersebut tidak hanya memenuhi rasa keadilan bagi para pihak tetapi sekaligus memberikan kepastian hukum bagi debitur dan para kreditur karena batas waktunya telah ditentukan oleh undang-undang.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat, dalam putusan PKPU tidak diperkenankan adanya upaya hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU karena mengingat proses dari PKPU itu sendiri yang telah memberikan waktu yang cukup kepada kedua belah pihak yakni debitur dan para kreditur untuk melakukan musyawarah guna mencapai perdamaian dalam hal penyelesaian hutang piutang mereka yang dimediasi oleh badan peradilan. “Dengan demikian, jika hasil dari putusan PKPU tersebut dipersoalkan kembali oleh salah satu pihak dengan jalan melakukan upaya hukum. Maka hal tersebut akan membuat musyawarah antara kedua belah pihak yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan yakni PKPU dan sudah memakan waktu yang cukup lama justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi permohonan PKPU itu sendiri, karena persoalan hutang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya,” ujar Enny.
Hal demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai. Hal tersebut juga jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun asas peradilan yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kemudian, lanjut Enny, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa dengan adanya upaya hukum PKPU Pemohon berharap Putusan PKPU yang pertimbangannya keliru dapat dikoreksi atau diperbaiki oleh badan peradilan yang tingkatannya lebih tinggi. Menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas bahwa pada hakikatnya substansi PKPU esensinya adalah merupakan hasil musyawarah perdamaian antara debitur dengan para kreditur sebagai representasi kehendak dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, tidak ada relevansinya mengkhawatirkan adanya putusan PKPU oleh peradilan yang perlu dikoreksi atau diperbaiki karena adanya kekeliruan. Terlebih lagi pernyataan pailit dari badan peradilan yang sesungguhnya berkaitan dengan kepailitan yang tidak didahului dengan PKPU telah disediakan upaya hukumnya.
Sementara itu, terhadap dalil-dalil Pemohon yang berhubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, Enny mengatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya. Sehingga, berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Baca Juga…
Warga Negara Korea Selatan uji UU Kepailitan dan PKPU
WNA Penguji UU Kepailitan Perbaiki Permohonan
Naskah Putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020 klik di sini…
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon yang diwakili oleh Rene Tantrajaya selaku kuasa hukum menegaskan bahwa pemohon secara de facto dan de jure telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya serta mengalami diskriminasi hukum akibat Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU. Dia mengatakan, Pemohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya dalam perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Menurutnya, Pemohon dijatuhkan pailit bukan karena hutang-piutang tetapi oleh suatu kewajiban membayar jasa mediator yang nyata-nyata melanggar hukum dan merugikan Pemohon selaku investor yang turut membantu Pembangunan di Indonesia. “Pada kenyataannya, homologasi sudah disetujui oleh seluruh kreditur, yang seharusnya dilaksanakan dan tidak boleh ditolak oleh Hakim hanya karena alasan tidak adanya jaminan untuk pembayaran uang fee tim pengurus, meskipun Pemohon sudah memberikan 7 (tujuh) lembar Bilyet Giro pada rekening aktif guna pembayaran uang fee tersebut, dan telah diterima oleh tim pengurus,” ujar Rene.
Selain itu, Pemohon juga telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) namun tidak dapat diterima, yang mana dalam putusannya menyatakan bahwa perkara a quo berawal dari adanya PKPU, maka berlaku ketentuan pada Bab III Pasal 289 UU KPKPU yaitu Debitor dinyatakan pailit, dan atas putusan pailit tersebut berlaku ketentuan Pasal 290 juncto Pasal 293 UU KPKPU dimana tidak terbuka upaya hukum termasuk permohonan pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam pasal 14 juncto pasal 290 UU KPKPU.
Pemohon beranggapan bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,bahwa setiap orang berhak atas pangakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, karena tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula tidak dapat diajukan upaya hukum luar biasa, dimana hal tersebut merupakan hak mutlak demi kepastian dan keadilan hukum.
Selain itu, pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan asas keadilan, sehingga menimbulkan kerugian secara konstitusional baik bagi Pemohon maupun bagi debitur-debitur lain yang perkaranya tidak sederhana. Dengan adanya pembatasan upaya hukum tersebut, tidak tertutup kemungkinan celah-celah yang akan dimanfaatkan untuk merekayasa suatu persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui peradilan niaga. Menurut Pemohon, hal ini harus dicegah dan tidak boleh terjadi, karena Indonesia sangat membutuhkan kepercayaan investor untuk agar berani menanamkan modalnya guna turut membangun Indonesia, yang hasilnya tentu diharapkan dapat dinikmati dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Utami/AL/NRA)