JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang diajukan oleh Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) serta empat Pemohon lainnya tidak dapat diterima.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon I, III, IV dan V tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya,” tegas Ketua Panel Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (23/6/2020) siang.
Baca juga: Dianggap Rugikan Jaksa dan Publik, UU Jabatan Notaris Diuji
Tidak Memahami Secara Utuh
Terhadap permohonan para Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVIII/2020, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami norma Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara utuh dalam kaitan dengan ketentuan lain dalam undang-undang a quo, termasuk kewenangan Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penyidikan atau keperluan pemeriksaan terhadap notaris.
“Karena hal tersebut telah diantisipasi dengan adanya ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa MKN paling lambat dalam waktu 30 hari kerja, wajib menerima atau menolak persetujuan. Hal ini pun ditegaskan kembali pada Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris yang menyatakan dalam hal MKN tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) tersebut, MKN dianggap menerima permintaan persetujuan,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris bersifat redundant karena secara substantif dianggap Pemohon sama dengan Pasal 66 ayat (3) UU Jabatan Notaris, adalah tidak tepat. Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris justru merupakan penegasan bahwa MKN tidak dapat menghalangi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan kewenangan untuk kepentingan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris.
“Terlebih lagi ketentuan pasal a quo dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya. Khususnya melindungi keberadaan minuta sebagai dokumen negara yang bersifat rahasia,” ujar Wahiduddin.
Berkaitan petitum Pemohon yang meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 karena telah ada Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2013 yang menurut Pemohon, menyulitkan aparat penegak hukum dalam memeriksa notaris. Namun Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memahami substansi Putusan MK sebelumnya, bahkan salah mengutip Putusan MK. Padahal Putusan MK yang substansinya menyangkut norma pada UU Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud Pemohon, adalah Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012 bertanggal 28 Mei 2013.
Menurut Mahkamah, apabila permohonan Pemohon dikabulkan yaitu membatalkan keseluruhan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, hal ini dapat menciptakan persoalan tidak adanya peran MKN dalam melakukan pembinaan notaris, khususnya dalam mengawal kewajiban notaris yang di antaranya merahasiakan segala suatu mengenai akta yang dibuatnya.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, meskipun dasar dan alasan pengujian yang digunakan berbeda sehingga permohonan a quo dapat diajukan, namun karena masalah konstitusional permohonan sama yaitu mengenai persetujuan MKN untuk mengambil foto copy minuta akta atau surat-surat terkait dan untuk memanggil notaris dalam kaitan pemeriksaan akta, maka pertimbangan Mahkamah dalam pengujian Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris dalam Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 dimaksud mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Persatuan Jaksa Indonesia (Pemohon I) bersama empat Pemohon lainnya berprofesi sebagai jaksa melakukan uji materiil mengajukan uji materiil Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Kerugian atas pasal a quo dialami secara aktual oleh Olivia Sembiring (Pemohon II), sebagai jaksa yang bertugas menangani perkara Tindak Pidana Pemberian Keterangan Palsu ke dalam akta otentik, diawali dengan pelaporan kepada penyidik dengan Nomor LP/508/IV/2018/Bareskrim tanggal 16 April 2018. Kemudian dalam proses pemeriksaan perkara Penyidik, Bareskrim Mabes Polri mengirimkan surat kepada Ketua Majelis Kehormatan Notaris Provinsi Jawa Barat Nomor B/1044/V/Res.2.4/2019/Dit.Tipideksus tanggal 3 Mei 2019 yang pada pokoknya permohonan persetujuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap notaris atas nama Patricia Tirta Isoliani Ginting.
Terhadap surat persetujuan tersebut di atas, Majelis Kehormatan Notaris memberikan jawaban yang pada pokoknya belum dapat menyetujui permintaan tersebut. Dengan demikian hingga saat ini proses penegakan terhadap perkara tersebut terhambat dan merugikan atau setidaknya berpotensi merugikan kepentingan jaksa serta publik secara umum. (Nano Tresna Arfana/LA)