JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Perpu Penanganan Covid-19). Putusan perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 dan 24/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Selasa (23/6/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang Pengucapan ini diselenggarakan dengan penerapan pola penjarakan fisik (physical distancing) guna mendukung pencegahan penyebaran Covid-19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Baca juga: Sejumlah Masyarakat Gugat Konstitusionalitas Perppu “Corona”
Terhadap Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang profesi ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengutarakan bahwa permohonan yang diajukanmerupakan pengujian konstitusionalitas yang pada saat pengajuan permohonannya belum disetujui oleh DPR. Sehingga, Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020.
Berpedoman pula pada Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Mencermati potensi kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon, yaitu perbedaan perlakuan di hadapan hukum, Mahkamah berpendapat hal tersebut memang dapat terjadi karena ketentuan a quo memberikan imunitas bagi pihak-pihak atau lembaga tertentu. Potensi pembedaan perlakuan di hadapan hukum tidak akan terjadi jika ketentuan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah atau dimaknai secara berbeda.
“Hal ini bagi Mahkamah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional yang didalilkan dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian. Namun potensi terjadinya kerugian tidak berarti ketentuan yang dimohonkan selalu dalam posisi bertentangan dengan konstitusi. Karena penilaian kerugian itu seringkali subjektif serta dipengaruhi berbagai faktor non-konstitusi,” terang Arief.
Baca juga: Pemerintah Akui Telah Sahkan Perppu Penanganan Covid-19 Menjadi Undang-Undang
Kehilangan Objek
Lebih lanjut, terhadap Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 ini Hakim Konstitusi Aswanto menyebutkan bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR. Dalam sidang pemeriksaan tersebut, kuasa hukum Presiden menerangkan norma tersebut telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Menimbang diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi undang-undang, maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum.
“Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek,” jelas Waki Ketua MK Aswanto.
Perubahan Status Hukum
Sementara itu, terhadap Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lainnya ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan pertimbangan hukum Mahkamah, yaitu berdasarkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 27 Perpu 1/2020, terutama setelah sidang pemeriksaan bahwa kuasa hukum Presiden menerangkan norma tersebut telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. “Maka fakta hukum baru demikian berakibat pada terjadinya perubahan status hukum Perpu 1/2020,” ucap Daniel.
Dalam sidang sebelumnya, para Pemohon menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perpu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perpu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019. Di samping itu, para Pemohon juga melihat bahwa ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3% Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Selain itu, para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 27 ayat (1) Perpu Penanganan Covid-19 memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi.
Selain itu, para Pemohon menyebutkan Pasal 27 ayat (1) Perpu a quo menyatakan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukanlah kerugian negara, padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Para Pemohon juga berpendapat bahwa pada Pasal 27 ayat (2) Perpu a quo terdapat sisipan frasa “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Maka, Pemohon berpandangan frasa “jika” bersifat multitafsir dimana pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa dalil sebuah kebijakan dengan itikad baik dan merugikan keuangan negara harus diuji melalui proses hukum yang terbuka sehingga tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subjektif oleh penyelenggara pemerintahan. (Sri Pujianti/RA/LA)