JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber Pelatihan Pembangunan Kompetensi Dasar Advokasi Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemilu Angkatan III Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Sabtu (20/6/2020) pagi melalui aplikasi Zoom yang disampaikan dari kediaman Saldi Isra di Jakarta.
Saldi mengawali pertemuan dengan menjelaskan sistem pemerintahan yang berlaku di sebuah negara. “Kalau kita bicara sistem parlementer pemilu pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengisi anggota parlemen. Dalam sistem parlementer yang ada hanya pemilihan untuk memilih anggota parlemen. Jadi kalau misalnya di Malaysia, Thailand, atau Inggris ada pemilu, maka pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota parlemen. Hasil pemilu parlemen itulah yang akan jadi kalkulasi untuk memperebutkan siapa yang akan jadi eksekutif. Kalau di Inggris disebut dengan perdana menteri, di Jerman disebut dengan kanselir,” urai Saldi kepada para petinggi Bawaslu Pusat antara lain Fritz Edward Siregar maupun anggota Bawaslu Provinsi. Selain itu, hadir peneliti Perludem Fadli Ramadhanil dan Direktur Eksekutif KoDe Inisiatif Very Junaidi yang keduanya menjadi narasumber acara ini.
Berbeda dengan sistem presidensiil, sambung Saldi, pemilu dalam sistem presidensiil dimaksudkan untuk mengisi anggota legislatif, kalau di Amerika Serikat untuk memilih anggota senat, sedangkan di Indonesia untuk memilih anggota DPR maupun DPD. Hal tersebut juga untuk memilih Presiden.
“Ada negara yang memisahkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, juga ada negara yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Tergantung dari sistem presidensiil negara yang bersangkutan. Tapi pada umumnya sistem presidensiil yang dibangun dengan sistem kepartaian majemuk atau multi partai diupayakan agar pemilu dilakukan secara serentak,” papar Saldi yang menyajikan materi “Konstitusionalisme Pemilu”.
Tidak Disebut Soal Pemilu
Selanjutnya Saldi mengungkapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang masih asli dibuat oleh The Founding Fathers ternyata tidak ada satu pun pasal, kalimat, kata yang menyebutkan soal pemilu. Lalu, apakah para pendiri negara kita pernah membicarakan soal pemilu?
“Para pendiri negara kita bukannya tidak paham soal pemilu. Misalnya Yamin, Soepomo, Soekarno dan beberapa tokoh sudah mendiskusikan pemilu saat membentuk UUD 1945. Meskipun para pendiri negara kita saat itu lebih fokus agar bagaimana memerdekakan Indonesia yang kala itu masih dijajah Jepang,” jelas Saldi.
Akibatnya, kata Saldi, ketika itu Konstitusi Indonesia tidak membahas banyak hal termasuk soal pemilu. Tahun 1969 barulah dibentuk UU Pemilu. Dalam perkembangan selanjutnya, saat diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUD Sementara 1950 sudah mulai disebut soal pemilu.
Bertahun-tahun kemudian, tutur Saldi, dalam UUD 1945 setelah terjadi amendemen pada 1999-2002, para tokoh menegaskan bahwa soal pemilu harus diatur lebih tegas dalam UUD 1945.
Satilah satu bangunan argumentasinya, Konstitusi itu meskipun mengatur soal-soal yang pokok dan mendasar, namun secara minimal Konstitusi harus menggambarkan apa saja lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia termasuk tugas dan fungsinya. Seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Ketika itu pula terjadi perdebatan antara para pengubah Konstitusi kita, apakah kita akan tetap mempertahankan model sistem pemerintahan di masa kemerdekaan? Ada yang mengatakan kita menganut sistem parlementer, ada yang mengatakan kita menganut sistem presidensiil, atau ada juga yang mengatakan kita menganut model sendiri, bukan parlementer dan bukan presindensiil,” ucap Saldi.
Akhirnya di tengah perdebatan para pengubah Konstitusi Indonesia, ada pendapat bahwa Indonesia akan tetap mempertahankan sistem presidensiil dengan sejumlah perbaikan yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
“Mengapa para pengubah Konstitusi kita ingin mempertahankan sistem presidensiil? Karena kita pernah merasakan pengalaman traumatik saat pelaksanaan sistem parlementer di Indonesia sejak 1945 sampai pembubaran konstituante pada 1949 oleh Presiden Soekarno. Kabinet-kabinet ketika itu jatuh bangun. Ada yang bertahan hanya tiga bulan, enam bulan sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, ketidakstabilan negara dan sebagainya,” kata Saldi.
Saldi menuturkan kejadian di Filipina saat rezim Ferdinand Marcos jatuh dan Corazon Aquino didaulat jadi Presiden, terjadi perdebatan di kalangan petinggi negara soal penerapan sistem pemerintahan yang berlaku. Marcos bisa menjadi Presiden begitu lama karena Konstitusi Filipina bermasalah.
“Salah satu perdebatan ketika itu, apakah akan mempertahankan sistem pemerintahan yang lama atau menerapkan sistem presidensiil dengan mengadopsi sistem presidensiil di Amerika Serikat dengan beberapa perbaikan. Karena tidak mungkin mengadopsi sistem pemerintahan dari negara lain seratus persen. Hasil perdebatan, Filipina tetap mengadopsi sistem presidensiil Amerika Serikat, lalu mencari upaya agar sistem presidensiil di Filipina tidak melahirkan rezim otoriter seperti dilakukan Ferdinand Marcos. Ada pembatasan masa jabatan presiden,” tandas Saldi.(Nano Tresna A./LA)