JAKARTA, HUMAS MKRI - Kabupaten Kerinci memiliki wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar, maka pelaksanaan pembangunannya belum sepenuhnya terjangkau. Oleh karena itu, pembentukan Kota Sungai Penuh yang merupakan pemekaran wilayah tersebut, tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) pada Kamis (18/6/2020).
Sidang kelima dari perkara Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan penerapan penjarakan fisik (physical distancing) dalam rangka mematuhi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pelaksanaan aturan ini telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO) guna mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19.
Lebih lanjut, Arteria menerangkan bahwa pembentukan Kota Sungai Penuh telah melalui pertimbangan kajian sosial budaya, politik, dan ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan serta pemanfaatan potensi daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah UU Pembentukan Kota Sungai Penuh, termasuk adanya pembahasan mengenai alokasi dana perimbangan untuk pembinaan kota. Sementara itu, berdasarkan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 13 ayat (4) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh bersifat multitafsir dan diskriminatif yang diwajibkan penyerahan aset tanpa ada pengecualian, maka DPR berpendapat bahwa rumusan pasal tersebut telah memenuhi syarat perundang-undangan.
“Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 telah diatur didalamnya terkait pemindahtanganan aset daerah. Rumusan pasal telah memberikan kejelasan pembatasan aset dan dokumen yang dapat diserahkan serta adanya penyerahan utang piutang. Sehingga Pembentuk UU telah merumuskan secara matang segala sesuatu yang terkait dengan pembentukan kota tersebut dengannorma yang jelas,” terang Arteria terhadap perkara yang dimohonkan oleh 13 Pemohon yang terdiri atas Pensiunan PNS, advokat, tokoh pemuda, dosen, dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci.
Dengan demikian, DPR melihat bahwa permasalahan yang terjadi dalam perkara a quo adalah masalah implementasi norma dan bukan masalah konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini, sambung Arteria, terlihat dari kesepakatan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh yang difasilitasi Pemerintah Provinsi Jambi. Melalui pertemuan ini dihasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak sepakat menginventarisisasi penyerahan aset yang telah dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri pada Agustus 2019.
“Saat penyerahan aset ini telah tercipta kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap aset yang diserahkan, jika ada pelaksana yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka hal tersebut bukan kesalahan norma melainkan implementasi norma. Tidak efektifnya suatu norma, bukan berarti UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Arteria.
Implementasi Praktik
Sementara itu, terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon, DPR memberikan pandangan berdasarkan lima batasan kerugian konstitusional. Pemohon 1 – 9 merupakan perseorangan warga negara, sedangkan Pemohon 10 – 13 adalah badan hukum publik. Menurut DPR bahwa ketentuan pasal a quo menyebutkan kriteria aset yang akan diberikan kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh. Sehingga tidak terdapat unsur hak dan kewenangan Pemohon di dalamnya karena pada dasarnya semua ini hanya berkaitan dengan implementasi praktik penafsiran berbeda dari aparat hukum sehubungan dengan aset yang seharusnya diserahkan dan/atau tidak perlu diserahkan. Dengan demikian, apabila profesi para Pemohon dikaitkan dengan kedudukan hukumnya maka tidak terdapat pertautan kerugian konstitusionalnya.
“Jadi tidak ada kerugian konstitusional dan para Pemohon hanya menyatakan asumsi pasal a quo akan merugikan hak. Sehingga dapat disimpulkan tidak akan terjadi kerugian dan tidak ada hubungan sebab akibat dari keberlakuan norma a quo,” jelas Arteria di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Pada sidang terdahulu, para Pemohon menyebutkan materi muatan pasal a quo menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Sejatinya, permasalahan ini berawal dari pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh. Sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibat dari perbedaan dari hasil pemekaran Kabupaten Kerinci ini adalah perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Dengan terbaginya wilayah menjadi dua daerah otonom merupakan konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran.
Selain itu, Pemohon menganggap Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibu kota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan pada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di desa Bukit Tengah yang masih minim infrastruktur.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar mengatakan bahwa sidang berikutnya akan digelar dengan agenda mendengarkan ketertangan Pihak Terkait yakni Gubernur Provinsi Jambi pada Kamis, 9 Juli 2020 pukul 11.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)