DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) RI, Kamis (10/4) secara resmi mengajukan uji materi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kuasa hukum pemohon, Todung Mulya Lubis mengatakan, terdapat dua isu krusial UU Pemilu yang dipersoalkan berkaitan dengan syarat domisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihan calon anggota DPD dan pengaturan prosedur pengurus atau anggota partai politik menjadi calon anggota DPD. Ia menilai Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22 C ayat (1) dan Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945.
"UU Pemilu bertentangan dengan semangat asli pembentukan DPD sebagaimana diatur dalam UUD 1945," ujar Todung di Gedung Mahkamah Konstitusi, kemarin (10/4).
Pemohon menilai penghapusan syarat asas domisili dalam UU Pemilu, akan melemahkan dan membajak DPD. "Dihilangkannya persyaratan ini, bukan hanya melemahkan DPD tapi membajak dan menggergaji DPD," ujar Todung di Gedung Mahkamah Konstitusi, kemarin (10/4).
Todung meminta majelis hakim konstitusi untuk tidak bersikap normatif dan lalai membaca UU Pemilu tersebut. "Jika tidak, akan banyak sekali jalan untuk melanggar UUD. Dan betul-betul membuat undang-undang yang seolah-olah tidak bertentangan dengan UUD tapi esensinya meninggalkan prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam UUD."
Sementara Wakil Ketua DPD La Ode Ida mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi memprioritaskan perkara ini, jika tidak disegerakan dikhawatirkan akan memengaruhi tahapan penyelenggaraan pemilu. Bahkan ia memastikan seluruh pimpinan DPD siap menghadiri proses persidangan uji materi UU Pemilu.
Menanggapi La Ode, panitera MK Ahmad Fadil Sumadi, menyarankan pemohon agar membuat permohonan tertulis menyangkut pengutamaan perkara ini. "Minggu depan akan diusahakan ada pemeriksaan pendahuluan," ucapnya seraya menyebutkan nomor perkara yang didaftarkan adalah 10/PUU-VI/2008.
Pendafataran uji materi ini juga dihadiri oleh anggota DPD RI Anthony Charles Sunarjo (Maluku Utara), Muspani (Bengkulu), Wahidin Ismail (Papua Barat), Marhany V Pua (Sulawesi Utara), Kasmir Tri Putra (Lampung), Abdul Aziz Qahar Mudzakar (Sulawesi Selatan), Nuzran Joher (Jambi), Fajar Fairy Rusni (Bangka Belitung), PRA Arief Natadiningrat (Jawa Barat), Lalu Muhyi Abidin (Nusa Tenggara Barat), KMA M Usop (Kalimantan Tengah). Juga hadir pengamat politik dari UI Arbi Sanit, perwakilan masyarakat Papua dan Sumatera Utara yang mengenakan pakaian adat.
Selain DPD, uji materi juga diajukan anggota DPD RI secara perseorangan, Center for Electoral Reform (CETRO), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Sekretariat Nasional Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan perwakilan masyarakat daerah.
Ahmad Fadil menjelaskan, baru kali ini permohonan uji materi diajukan oleh lembaga negara yaitu DPD RI. Biasanya uji materil diajukan oleh perseorangan atau lembaga masyarakat atau kesatuan masyarakat adat.
Keserakahan Partai
Sejak awal pengesahan UU Pemilu, pengamat politik Arbi Sanit menilai hal ini merupakan upaya parpol untuk mendominasi kekuasaan negara. Alasan inilah yang membuatnya ikut hadir dalam pengajuan perkara. "Karena itu, saya berkewajiban menantang parpol karena sudah masuk pada keserakahan yang harus dikontrol," ujarnya.
Arbi menilai ada kecenderungan partai politik memperalat UU Pemilu untuk melebarkan sayapnya berkuasa tanpa batas. "Ini berbahaya bagi negara kalau satu golongan dalam masyarakat mendominasi kekuasaan negara. Saya ikut menantang partai politik. Ini sudah masuk pola keserakahan," tandasnya.
Sejurus dengan Arbi, Ketua Panitia Ad Hoc I (PAH I) DPD RI, Muspani ketika ditemui Jurnal Nasional di Gedung DPD RI, Rabu (9/4), mengatakan UU Pemilu jelas-jelas melanggar UUD 1945. Pasalnya, UU tersebut menafikan semangat dibentuknya DPD untuk mengimbangi kekuasaan DPR di parlemen melalui sistem bikameral. Jika perwakilan partai bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPD, keseimbangan tak akan pernah terjadi.
"Jika hal ini terjadi maka keseimbangan yang diharapkan tidak akan pernah terjadi, malah parpol-parpol yang saat ini sudah menguasai DPR, dan lembaga eksekutif akan menjadi-jadi," ujarnya.
Penghapusan syarat domisili dan dibolehkannya unsur partai mencalonkan menjadi anggota DPD, justru akan melemahkan peran DPD dan membesarkan kekuasaan partai. "DPD yang saat ini tidak memiliki jenis kelamin, berbeda dengan lembaga lainnya, karena parpol ke depannya akan memiliki dua lembaga," tandas Muspani.
n Priska/Friederich/Rhama Deny
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto Dok. Humas MK