JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (16/6/2020) dengan agenda perbaikan permohonan. Aristides Verissimo de Sousa Mota selaku pemohon mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan pada permohonannya sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Ia menjelaskan bahwa telah memperbaiki permohonan mulai dari kewenangan MK sampai dengan petitum.
Aristides menegaskan telah menghapus pasal terkait penghitungan suara pada norma yang diajukan pengujian. Adapun pasal yang dihapus yakni Pasal 415 ayat (1), Pasal 415 ayat (2), Pasal 415 ayat (3) dan pasal Pasal 420. Sehingga, pada bagian petitum ia meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 168 ayat (2), Pasal 187 ayat (2), Pasal 189 ayat (2), Pasal 192 ayat (3), dan Pasal 197 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan terhadap Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor 29/PUU-XVIII/2020 ini mendalilkan UU Pemilu tidak sejalan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C UUD 1945. Aristides yang hadir tanpa kuasa hukum mengungkapkan, dalam pelaksanaan pemilu secara serentak tahun 2019 telah menyebabkan jatuhnya sejumlah korban jiwa karena kelelahan. Rumitnya metode yang digunakan untuk memilih calon anggota legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dan pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
“Dengan menggunakan sistem pemilihan yang demikian rumit, prinsip pelaksanaan pemilu yang efektif dan efesien sebagaimana diatur dalam pasal 3 huruf j dan k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menjadi tidak terlaksana,” ujarnya di hadapan sidang yang dipimpin olrh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul tersebut.
Namun, menurut Aristides untuk sistem pemilihan calon anggota DPD RI telah benar karena menggunakan sistem distrik berwakil rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 168 ayat (2). Hanya saja jumlah calon tidak dibatasi sehingga masyarakat tidak tahu siapa yang akan dipilih dan setelah pencoblosan masyarakat tidak ingat siapa yang telah mereka pilih.
“Pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019 telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa, Pemohon berharap agar Majelis Hakim Konstitusi yang mulia melakukan pengaturan-pengaturan sesuai dengan yang Pemohon ajukan terhadap sistem pemilihan umum sehingga pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2024 dan seterusnya tidak lagi menimbulkan korban jiwa,” ujarnya.
Ia berharap, jumlah calon anggota DPD RI untuk setiap daerah pemilihan (DAPIL) dibatasi menjadi maksimal 10 orang. Dengan demikian untuk setiap propinsi jumlah calon anggota DPD RI tidak lebih dari 40 orang. Jika calon/anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota meninggal dunia, maka Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai pemenang pada distrik tersebut berhak menggantikannya dengan anggota yang baru. Sehingga dalam petitumnya pemohon memohon kepada MK untuk menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang- undang yang diajukan. (Utami/Halim/LA)