JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951) tentang Senjata Api (UU Senpi) pada Senin (15/6/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XVIII/2020 ini, MK menerapkan pola penjarakan fisik (physical distancing) sesuai ketentuan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) Masa Transisi dengan berpedoman pada protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Pada sidang kedua ini, Kivlan Zen yang merupakan purnawirawan TNI Angkatan Darat RI menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU Senpi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam sidang dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan ini, Tonin Tachta Singarimbun selaku kuasa hukum mengungkapkan Pemohon menyempurnakan beberapa bagian dari permohonannya terutama berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon.
Sebagai perseorangan warga negara dan purnawan TNI maka Pemohon telah diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945. Hal yang perlu diketahui, sambung Tonin, bahwa Pemohon sejak 1971 – 2001 telah mengabdi untuk negara selaku prajurit TNI. Namun, melalui penangkapan yang telah terjadi pada 26 Mei 2019 tersebut dengan mengungkapkan isi BAP kepada publik telah berarti terjadi pelanggaran konstitusi.
“Sebagai negara hukum maka penyusunan norma harus berdasarkan kepentingan negara. Oleh sebab itu, maka pemerintah harus menghormati makna norma a quo dan tidak dapat dengan mudahnya menyampaikan Pemohon sebagai tersangka dan terdakwa. Oleh karena itu, maka dengan melakukan penghayatan, ini telah terjadi penyampingan hak Pemohon,” jelas Tonin di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menguraikan dalam sebuah kasus konkret dirinya telah ditangkap pada 29 Mei 2019 dengan sangkaan kepemilikan senjata api dan peluru ilegal. Dalam proses hukum lanjutan, Pemohon pun kemudian didakwa sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana dan membantu melakukan tindakan pidana sehingga divonis pengadilan dengan Nomor Perkara 1113/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Pst yang diputus pada 3 Maret 2020. Berkaitan dengan hal ini, pasal pada UU Senpi telah berakibat tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dan merugikan hak konstitusionalnya. Karena pada penjelasan pasalnya, tidak ditemukan penjelasan, yurispridensi, atau turunannya mengenai kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum dalam melakukan pemeriksaan pokok perkara atau sebelum menjatuhkan putusan sela terhadap eksepsi Pemohon. Merunut pada keberadaan lahirnya norma ini, Pemohon berpandangan bahwa UU Senpi sebelumnya merupakan UU Darurat, yang pada intinya berhubungan dengan keadaan yang mendesak dan untuk kepentingan pemerintah dipandang perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Dalam pandangan Pemohon norma tersebut tidak mencerminkan negara hukum yang dianut Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena frasa yang ada pada UU Senpi rumit dan bersifat multitafsir. Padahal sebuah norma hendaknya memenuhi ketentuan bahasa yang mudah dimengerti dan menggunakan tata bahasa Indonesia yang benar. Selain itu, Pemohon juga menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) terutama berkaitan dengan perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon dalam vonis pada beberapa nomor perkara yang terkait dengan kepemilikan senjata dan peluru ilegal yang dijatuhkan padanya. Diskriminasi ini ditemui Pemohon saat salah seorang terdakwa yang memiliki senjata dapat dilepaskan, sedangkan dirinya yang tidak pernah melakukan tuduhan yang dimaksudkan tersebut tetap harus menjalankan proses hukum sebagaimana yang disangkakan.
Demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, MK dalam hal persidangan mengimbau para pihak baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk mengikuti jalannya sidang. Para pihak dapat datang langsung ke MK atau menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online). Meski tidak hadir langsung, para pihak dapat mengikuti sidang dengan berbagai pilihan yang ada tersebut Mahkamah memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx dalam mempermudah berbagai pihak yang akan mengikuti jalannya persidangan secara daring dari kediaman masing-masing. Namun, dua hari sebelum sidang digelar, para pihak harus menginformasikan perihal perangkat yang akan digunakannya selama mengikuti jalannya persidangan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan kesesuaian perangkat dan kelancaran jaringan dalam penyelenggaraan persidangan nantinya. (Sri Pujianti/AL/LA)