JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (11/6/2020) di Ruang Sidang Pleno MK dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 26/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Azwarmi alias Armi, seorang terdakwa dalam kasus kerusuhan 22 Mei 2019 silam.
Dalam sidang perbaikan, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Tonin Tachta Singarimbun mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun perbaikan yang disampaikan kepada MK, yakni mengenai status pemohon yang semula terdakwa atau dalam tahanan saat ini pemohon sudah di luar tahanan sejak tanggal 23 Mei 2020 tetapi pemohon sudah di vonis 10 tahun. Selanjutnya, Tonin mengatakan bahwa pemohon juga menguraikan terkait kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang diajukan untuk pengujian tersebut baik bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang dapat terjadi. Kemudian, lanjut Tonin, pemohon juga menguraikan sebab akibat antara kerugian hak dan atau kewenangan dengan UU yang diajukan. Sementara pada batu uji, pihaknya mengubah konstruksi penulisan dengan menguraikan secara rinci batu uji tersebut.
Dalam persidangan sebelumnya pada Rabu (13/5/2020) silam, Pemohon merasa telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 182 ayat (4), Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) huruf a dan huruf b KUHAP. Tonin Tachta Singarimbun selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa Pemohon dijatuhi hukuman karena terbukti tanpa hak, menguasai dan membawa senjata api atau bahan peledak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHAP secara tidak sah.
Menurut Tonin, Pemohon dipidana tidak berdasarkan surat dakwaan melainkan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dalam persidangan. Dalam dakwaan, Pemohon didakwa memiliki senjata Mayer kaliber 22 mm dengan peluru kaliber 22 mm sebanyak 3 buah. Akan tetapi, dalam fakta persidangan, alat bukti yang dihadirkan berupa senjata Mayer buatan Jerman dengan peluru sebanyak 5 – 7 buah. Hal ini yang dianggap Pemohon merugikan. Padahal, seharusnya hanya berdasarkan surat dakwaan agar tidak melanggar Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Selain itu, Tonin juga berpendapat bahwa dalam pembuktian tidak boleh hanya berdasarkan keterangan saksi dan keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana alat bukti yang dipertimbangkan hakim dalam mempidana Pemohon diperoleh dalam proses penyidikan. Sehingga, hal tersebut harus berdasarkan keterangan saksi dan keterangan ahli dalam persidangan agar tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan hukum.
Kemudian, lanjut Tonin, hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan keyakinan hakim harus mempertimbangkan keterangan saksi dan keterangan ahli terdakwa bukan hanya berdasarkan 2 alat bukti yang dapat diperoleh dari JPU saja. “Dan apabila JPU dan Terdakwa masing-masing mengajukan alat bukti yang sama kuatnya, maka pembuktian yang terkuat adalah yang mengajukan alat bukti yang lebih banyak agar tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28I UUD 1945,” ujarnya. (Utami/tir/LA)