JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (19/5/2020) dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 11/PUU-XVIII/2020 ini adalah Perkumpulan Maha Bidik Indonesia, menguji Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan. Pasal tersebut menyatakan, “Warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.”
Pemohon mendalilkan, ketentuan frasa “warga masyarakat yang dirugikan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan menyebabkan tidak semua warga masyarakat 5 dapat melakukan upaya administratif dan gugatan ke PTUN terhadap keputusan dan/atau tindakan dari pejabat pemerintah sebab dinilai tidak mengalami kerugian dan kepentingan secara langsung dan nyata sehingga menimbulkan adanya pelakuan diskriminatif terhadap warga negara lainnya dengan demikian bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.
Pendapat Mahkamah
Dalam pendapatnya, Mahkamah menyatakan bahwa dari aspek konstitusionalitas, Mahkamah tidak menemukan adanya tafsir dalam frasa “warga masyarakat yang dirugikan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 30/2014 yang bermakna sempit.
“Sebab, argumentasi Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan PTUN dan beberapa putusan lainnya, yang mempersempit makna frasa yang diuji Pemohon, sesungguhnya tidak serta merta mengubah tafsir konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 menjadi sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pendapat Mahkamah.
Dengan kata lain, menurut Mahkamah, norma Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan sepanjang frasa “warga masyarakat yang dirugikan” adalah berkaitan dengan subjek hukum yang dapat mengajukan. Sedangkan yang dipersoalkan Pemohon adalah kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan nyata.
Setelah mencermati dalil Pemohon, terutama pada bagian posita dan petitum permohonan, Mahkamah menemukan permasalahan konstitusional yang diuraikan dalam posita adalah frasa “warga masyarakat yang dirugikan” yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk menggugat Putusan PTUN manakala frasa tersebut dimaknai sebagai kerugian dan dialami harus secara langsung dan nyata.
“Namun pada bagian petitum, Pemohon merumuskan hal yang bertolak belakang dengan uraian dalam posita maupun dalam penjelasan pada sidang pendahuluan. Pada bagian petitum, Pemohon menyatakan frasa yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dengan kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan nyata,” ujar Arief.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, adanya pertentangan antara rumusan posita dan petitum Pemohon memunculkan ketidakjelasan bagi Mahkamah mengenai hal apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon. “Ketidakjelasan itu menyebabkan permohonan Pemohon kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana/LA)