JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) – Perkara Nomor 30/PUU-XVIII/2020 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/5/2020). Persidangan dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19, seperti memakai masker, sarung tangan, cek suhu tubuh, dan menjaga jarak fisik(physical distancing).
Permohonan diajukan oleh Aristides Verissimo de Sousa Mota. Warga Bogor ini menguji Pasal 10 dan 15 UU Kementerian Negara. Pasal 10 menyebutkan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Sedangkan Pasal 15 berbunyi,”Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).”
Pemohon mendalilkan, pembentukan kementerian yang cenderung dipaksakan, memberi kesan bahwa Presiden harus mengakomodir para pihak yang telah berkontribusi dalam pemilihan presiden tanpa melihat manfaatnya bagi kepentingan bangsa dan negara. Permasalahan menjadi lebih kompleks, ketika Presiden menambah lagi jumlah anggota kabinet dengan sejumlah wakil menteri sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara.
Hal yang lebih menyakitkan, lanjut Pemohon, ketika seorang menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus dibantu oleh dua orang Wakil Menteri. Padahal selama puluhan tahun kementerian BUMN hanya dipimpin oleh seorang menteri tanpa wakil, dan berjalan dengan baik.
“Keberadaan wakil menteri selain bersifat pemborosan, juga bersifat inkonstitusional karena dalam Pasal 17 UUD 1945 tidak ada istilah Presiden dibantu oleh menteri dan wakil menteri. Artinya jabatan pembantu Presiden yang sah adalah menteri bukan wakil menteri dan secara logika keberadaan wakil menteri cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945,” ungkap Aristides.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon berharap agar keberadaan jabatan wakil menteri dinyatakan tidak sah, jumlah menteri sebanyak 34 sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 15 UU Kementerian Negara perlu ditinjau kembali dan cukup berkisar antara 20 (minimal), serta jabatan menteri koordinator dapat diintegrasikan ke dalam kementerian terkait misalnya Menteri Dalam Negeri menjadi Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dengan sebutan Mendagri/Korbid Polhukam.
Nasehat Panel Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai format permohonan Pemohon sudah hampir sempurna. “Kemudian harapan Pemohon dalam permohonan harus dielaborasi ke bagian posita. Dalam posita harus dijelaskan dasar pengujian undang-undang, harus diuraikan lebih mendalam. Selain itu kedudukan hukum Pemohon yang menyebutkan adanya dua Putusan MK, hal ini harus diuraikan secara mendetail. Kerugian konstitusional harus spesifik. Ini untuk meyakinkan kami bahwa Saudara benar-benar punya kedudukan hukum,” kata Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasehati agar Pemohon melakukan perbaikan terkait Kewenangan MK serta kerugian konstitusional Pemohon dalam kedudukan hukum. “Dalam hal ini, asumsi Pemohon soal pemborosan dengan adanya wakil menteri. Padahal keberadaan wakil menteri konstitusional berdasarkan Putusan MK sebelumnya. Sedangkan Saudara menilai keberadaan wakil menteri inkonstitusional,” tegas Arief.
Sedangkan Wakil Ketua MK Aswanto selaku Ketua Panel dalam persidangan ini mencermati soal kerugian materiil Pemohon. “Kami ingin mengklarifikasi permohonan Saudara terkait kerugian yang dialami Saudara, apakah berupa kerugian konstitusional atau kerugian materiil?” tanya Aswanto. Pemohon dengan jujur mengatakan bahwa kerugian yang dialaminya adalah kerugian materiil.
Aswanto menerangkan bahwa syarat untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di MK yaitu adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. “Kalau tidak ada kerugian konstitusional, tidak ada gunanya lagi Mahkamah Konstitusi melanjutkan permohonan,” ucap Aswanto.
Akhirnya Pemohon memutuskan untuk mencabut permohonan. “Baik, dengan demikian Saudara mencabut permohonan. Saudara tidak perlu menyampaikan pencabutan permohonan secara tertulis karena Saudara sudah menyampaikan secara lisan dalam persidangan,” tandas Aswanto.
(Nano Tresna Arfana/NRA)