JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Negara Indonesia (UU TNI) pada Senin (18/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 31/PUU-XVIII/2020 ini, untuk mematuhi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, MK menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing). Aturan yang dilaksanakan ini telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Aristides Verissimo de Sousa Mota selaku Pemohon menyatakan Pasal 1, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UU TNI bertentangan dengan UUD 1945. Dalam sebuah ilustrasi yang berdasarkan penafsiran Pemohon, dirinya menyatakan keberadaan Panglima TNI dalam hubungan sistem hierarki jabatan dengan Presiden, secara tidak langsung telah menghilangkan kedudukan Presiden selaku panglima tertinggi.
Sebagai contoh konkret, dalam permohonan Aristides menuliskan bahwa ketidaksesuaian ini terlihat pada saat pelaksanaan upacara kenegaraan dalam rangka pemakaman para mantan presiden dan wakil presiden. Menurutnya, yang bertugas memegang bendera merah putih di pusara adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Laut serta Kapolri. Mencermati hal ini, Aristides menilai bahwa jabatan Panglima TNI adalah tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”
“Sehingga semestinya berdasarkan frasa ‘…memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara’ atasan langsung pinpinan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Laut tersebut adalah Presiden dan bukan Panglima TNI. Itu yang menjadi dasar kewenangan kami,” kata Aristides yang aktif dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Keuangan Daerah (LPMKD).
Untuk itu, dalam petitum permohonan, Aristides memohonkan agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Negara Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan memerintahkan pemuatan putusannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Hukum
Dalam menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin selaku Ketua Panel Hakim menyebutkan perihal keduddukan hukum sebagai Pemohon perseorangan warga negara harus diperkuat dengan keberlakukan norma yang diujikan karena tidak terlihat penjabaran kerugian konstitusional. Meski di dalam permohonan Pemohon menyatakan tidak mengalami kerugian konstitusional, Pemohon tetap harus menjabarkan sebab akibat dari kerugian konstitusionalnya.
Berikutnya terkait dengan pasal yang diujikan, Wahiduddin melihat Pemohon haruslah mencermati satu demi satu ketentuan yang dimuat dari pasal-pasal tersebut.
“Apakah kemudian substansi dari pasal tersebut benar-benar telah merugikan hak konstitusional Pemohon. Saudara harus fokus, coba bayangkan jika implikasi permohonan ini dikabulkan akan seperti apa dampaknya, bubar negara ini nanti. Oleh sebab itu, pikirkan lagi dan lihat kembali maksud dari pengajuan permohonan ini,” terang Wahiduddin.
Sementara itu, Manahan melihat Pemohon perlu menyempurnakan permohonan pada bagian logika permohonan yang belum sesuai dengan ketentuan hukum acara di MK. Mengingat permohonan Pemohon yang memintakan adanya norma-norma yang tidak relevan dengan konstitusi, akibatnya Petitum yang diajukan Pemohon berisiko bertentangan dengan UUD 1945. “Untuk itu, Pemohon harus berhati-hati dan fokus serta dengan pemikiran konsep ideal Pemohon harus disampaikan pada lembaga perwakilan, sedangkan MK fokus pada norma dengan menjelaskan kerugian konstitusional Pemohon dengan keberlakuan UU ini,” jelas Manahan.
Konsep Ketatanegaraan
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel dalam memberikan beberapa nasihat kepada Pemohon membahas terkait pasal yang dimohonkan agar diperhatikan oleh Pemohon butir-butir dari substansi pasal tersebut mengingat apabila pasal dimohonkan secara keseluruhan dapat saja berakibat pada pembubaran sebuah bangsa. Selain itu, Daniel juga meminta agar Pemohon mempelajari konsep praktik ketatanegaraan.
“Hal ini perlu untuk memperkuat aspek filosofis dan posisi Panglima TNI atau ABRI yang pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam memperkuat permohonan Pemohon,” jelas Daniel.
Sebelumnya, Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams memberitahukan para Pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online). Namun, keputusan tersebut dikembalikan kepada masing-masing pihak yang berperkara. Sementara itu, bagi para pihak pendukung persidangan yang ingin mengikuti perkembangan perkara, dapat mengakses dan menonton persidangan melalui live streaming dari YouTube di rumah masing-masing.
Sebelum menutup persidangan, Wahiduddin mengingatkan agar Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan perbaikannya paling lambat pada Selasa, 2 Juni 2020 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/tir/LA)