JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951) tentang Senjata Api (UU Senpi) pada Rabu (13/5/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XVIII/2020 ini, MK menerapkan pola penjarakan fisik (physical distancing) sesuai arahan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Demi menghindari kesimpangsiuran informasi, pada pembukaan persidangan, Ketua Panel Hakim Arief Hidayat memberikan imbauan. Hal tersebut berupa pilihan bagi para pihak baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk mengikuti jalannya persidangan. Para pihak dapat datang langsung ke MK atau dapat pula menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online). Meski tidak hadir langsung, para pihak dapat mengikuti sidang dengan berbagai pilihan yang ada tersebut demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19.
Mahkamah memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx dalam mempermudah berbagai pihak yang akan mengikuti jalannya persidangan secara daring dari kediaman masing-masing. Namun, dua hari sebelum sidang digelar, para pihak harus menginformasikan perihal perangkat yang akan digunakannya selama mengikuti jalannya persidangan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan kesesuaian perangkat dan kelancaran jaringan dalam penyelenggaraan persidangan nantinya.
Dalam permohonan yang diajukan oleh Kivlan Zen yang merupakan purnawirawan TNI Angkatan Darat RI ini, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) UU Senpi. Pasal tersebut berbunyi, “Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peleda, dihukum dengan hukuman matiatau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.” Ketentuan pasal tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam uraiannya, Tonin Tachta Singarimbun selaku kuasa hukum mengungkapkan, Pemohon dalam sebuah kasus konkret telah ditangkap pada 29 Mei 2019 dengan sangkaan kepemilikan senjata api dan peluru ilegal. Dalam proses hukum lanjutan, Pemohon pun kemudian didakwa sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana dan membantu melakukan tindakan pidana sehingga divonis pengadilan dengan Nomor Perkara 1113/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Pst yang diputus pada 3 Maret 2020.
Berkaitan dengan hal ini, lebih lanjut Tonin menerangkan bahwa pasal pada UU Senpi telah berakibat tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dan merugikan hak konstitusionalnya. Karena pada penjelasan pasalnya, tidak ditemukan penjelasan, yurispridensi, atau turunannya mengenai kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum dalam melakukan pemeriksaan pokok perkara atau sebelum menjatuhkan putusan sela terhadap eksepsi Pemohon. Merunut pada keberadaan lahirnya norma ini, Pemohon berpandangan bahwa UU Senpi sebelumnya merupakan UU Darurat, yang pada intinya berhubungan dengan keadaan yang mendesak dan untuk kepentingan pemerintah dipandang perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan.
“Dengan demikian apabila diteliti dasar konstitusinya, maka hal tersebut tidak lagi relevan bagi perlindungan konstitusional Pemohon karena pengambilan potongan-potongan frasa pada pasal tersebut oleh Penyidik dan Penuntut Umum dapat saja dikaitkan dengan Pemohon,” jelas Tonin di hadapan sidang yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih sebagai Anggota Panel Hakim.
Pemohon juga melihat bahwa dalam norma tersebut tidak mencerminkan negara hukum yang dianut Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena frasa yang ada pada UU Senpi rumit dan bersifat multitafsir. Padahal sebuah norma hendaknya memenuhi ketentuan bahasa yang mudah dimengerti dan menggunakan tata bahasa Indonesia yang benar. Dengan tidak adanya ukuran minimum dan maksimum terhadap seseorang seperti pada frasa ‘membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, memyembunyikan, mempergunakan’ dalam pasal tersebut, maka pemahaman yang dilakukan Penyidik dan Penuntut Umum terhadap Pemohon tersebut tidaklah berdasarkan hukum.
Selain itu, Pemohon juga menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) terutama berkaitan dengan perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon dalam vonis pada beberapa nomor perkara yang terkait dengan kepemilikan senjata dan peluru ilegal yang dijatuhkan padanya. Diskriminasi ini ditemui Pemohon saat salah seorang terdakwa yang memiliki senjata dapat dilepaskan, sedangkan dirinya yang tidak pernah melakukan tuduhan yang dimaksudkan tersebut tetap harus menjalankan proses hukum sebagaimana yang disangkakan.
Untuk itu, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memutus setidaknya menyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau membatalkan terutama terhadap frasa dengan tanda koma (,), frasa ‘…atau…’, frasa ’… yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat…’ dan ‘… mencoba memperoleh…’” pada UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tersebut.
Kausalitas Norma
Melihat permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya mengatakan terdapat bagian yang tidak lazim dicantumkan Pemohon dalam sistematika permohonan, seperti adanya latar belakang dan argumentasi kerugian konstitusional. Ia pun menyebut belum melihat hal-hal utama yang ingin dimohonkan Pemohon karena ketercakupannya belum termuat dengan baik seperti dalam acuan sebuah permohonan pengujian undang-undang dalam hukum acara MK.
Berikutnya, pada bagian kedudukan hukum, Suhartoyo juga melihat bahwa Pemohon belum menuliskan substansi dari kausalitas norma dengan kerugian konstitusional yang dialami, baik yang konkret maupun potensial. “Ini untuk memberikan deskripsi yang berkaitan dengan ketidakpastian hukum sehingga mengalir pada legal standing Pemohon. Karena ini menjadi penguat bahwa Pemohon benar-benar memiliki kedudukan hukum untuk mempersoalkan pasal ini,” jelas Suhartoyo.
Tunjukkan Kerugian
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa keberlakuan UU yang diujikan Pemohon ini adalah UU yang masih berlaku dan diberlakukan di Indonesia, meski lahirnya dalam keadaan darurat. Menurutnya, mekanisme perlakuan UU ini seharusnya sama seperti sebuah undang-undang yang berlaku pada umumnya di Indonesia. Terkait dengan hal itu, ia mengatakan bahwa Pemohon pun harus menunjukkan bagian dari UU Senpi yang merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana syarat pengujian undang-undang dengan UUD 1945 adalah adanya hak konstitusional yang terlanggar dari kebelakuan sebuah norma.
“Ketika bicara pengujian maka harus tunjukkan kerugian konstitusioalnya. Ada hak apa yang dirugikan oleh norma ini? Jika norma dan kedudukan hukumnya tidak jelas, maka akan berhenti di sana saja. Jadi, Anda harus menjelaskan syarat berikut dengan kerugian dari kerberlakuan norma yang dialami Pemohon,” terang Enny.
Selain itu, Enny juga menasihati agar Pemohon mencermati pasal yang dijadikan landasan pengujian. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (3) yang dikutip Pemohon yang itu berkaitan dengan negara hukum, bukanlah sebuah norma yang berkaitan dengan hak konstitusional, tetapi prinsip negara hukum. Sehingga, Pemohon diharapkan mencermati dengan baik kaitan antara kerugian konstitusionalitasnya dengan norma yang dijadikan landasan pengujian.
Ketidaktepatan Penyebutan
Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Arief mencermati mengenai ketidaktepatan penyebutan undang-undnag yang diujikan Pemohon. Dalam pandangannya, apabila Pemohon tidak menyebutkan norma dengan tepat akan berakibat pada salahnya objek pengajuan perkara. Sehingga Pemohon harus menggunakan penyebutan undang-undang sesuai dengan ketentuan yang ada pada Lembaran Negara.
“Ini kalau menyebutkan tidak tepat akan menyebabkan salah objek. Ini penting dan harus sesuai dengan UU resmi. Ini bukan UU Senjata Api, pada permohonan ini penyebutannya tidak persis dan tidak tepat. Nanti bisa-bisa ditolak karena ojeknya salah dan harus sesuai Lembaran Negara,” sebut Arief dalam sidang yang juga dihadiri Kivlan Zein selaku prinsipal.
Sebelum menutup persidangan, Arief menyampaikan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 26 Mei 2020 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/AL/LA)