JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/5/2020) dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Di awal sidang, Panel Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyampaikan bahwa MK membuka kesempatan bagi para pihak yang berperkara untuk mengajukan sidang dalam jaringan (daring/online) terkait situasi pandemi Covid-19.
“Para pihak dalam persidangan dapat menggunakan fasilitas persidangan online dari kediaman masing-masing dengan memanfaatkan teknologi yang digunakan dan dimiliki Mahkamah Konstitusi. Adapun ketentuan untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan online, para pihak mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk menggunakan fasilitas persidangan online dua hari sebelum hari sidang diselenggarakan dengan memberitahukan tempat para pihak serta perangkat yang dimiliki. Jaringan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Cloudx atau Zoom,” kata Manahan kepada para Pemohon yang berada di Universitas Diponegoro melalui fasilitas konferensi video (video conference).
Para Pemohon Perkara 20/PUU-XVIII/2020 ini adalah Sunaryo dan Zarkasi yang menguji Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI. Pasal 5 huruf d UU PPMI menyebutkan, “Setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus memenuhi persyaratan: … d. terdaftar dan memiliki nomor kepersertaan Jaminan Sosial …”. Sedangkan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU PPMI berbunyi, “(1) Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan: …... b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicarikan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia.”
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) UU PPMI merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Pemohon menyebut usahanya atas nama H. Sunaryo telah dicabut melalui surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 107 Tahun 2020 tentang Pencabutan Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia PT Sentosa Karya Mandiri.
“Ketentuan pasal-pasal a quo mewajibkan Pemohon membekali pekerja migran yang akan bekerja di luar negeri untuk memiliki nomor kepesertaan jaminan sosial dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dianggap oleh Pemohon pelayanannya tidak memuaskan. Selain itu ketentuan a quo juga memberatkan Pemohon untuk menyetor deposito paling sedikit Rp1,5 miliarsebagai jaminan perlindungan pekerja migran. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak dapat menjalankan usahanya. Bahkan dicabut secara sepihak oleh pemerintah dengan semena-mena,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Junaedi.
Para Pemohon juga mendalilkan, Perusahan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) berpedoman kepada jaminan dan perlindungan pada setiap warga negara Indonesia di luar negeri untuk dapat menghindari terjadinya perdagangan orang (human trafficking) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Bahwa penataan secara kelembagaan yang tertuang dalam UU PPMI menjadi urgensi sangat penting agar jaminan konstitusional dapat dilaksanakan oleh kelembagaan dalam hal ini adalah P3MI.
Menurut para Pemohon, UU PPMI hadir dalam upaya memberdayakan P3MI sebagai penyelenggara pelayanan penempatan pekerja migran Indonesia yang memiliki beban yang ditanggung mulai dari hulu sampai hilir. Tugas dan tanggung jawab P3MI yang diatur dalam Pasal 52 UU PPMI membuat P3MI berperan penting dalam menjamin hadirnya kepastian hukum atas pekerja migran Indonesia.
Petitum Berbeda
Terhadap dalil-dalil para Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati bahwa petitum yang disampaikan para Pemohon berbeda dengan yang tertulis dalam permohonan. Selain itu, ia juga meminta Pemohon menguraikan lebih detail kerugian konstitusional yang dialami. “Alasan-alasan permohonan juga harus dipersingkat, jelas, tidak perlu terlalu panjang,” ucap Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati agar permohonan para Pemohon tidak perlu dibuat terlalu tebal, namun padat singkat dan mudah dipahami.
“Lampiran tidak perlu ada. Sederhana saja formatnya, ada kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Selain itu perlu dijelaskan status jabatan para Pemohon dalam perusahaan yang dikelola. Harus jelas dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, apa kapasitas para Pemohon,” tegas Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menekankan bahwa harus dijelaskan identitas para Pemohon dikaitkan kepentingan konstitusional untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
“Penanggung jawab dalam perusahaan harus dijelaskan. Tidak ada penanggung jawab dalam struktur perseroan. Penanggung jawab dalam perseroan itu seperti apa? Harus dijelaskan. MK tidak akan menyentuh permohonan yang diajukan para Pemohon, sebagus apa pun permohonan kalau tidak jelas,” tandas Suhartoyo.
Usai menyampaikan saran perbaikan, Panel Hakim memberikan waktu kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan selambatnya pada Rabu, 27 Mei 2020. (Nano Tresna Arfana/Halim/LA)