JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Sidang perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 ini digelar di tengah pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), pada Senin (11/5/2020) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Sebelum memulai persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku pemimpin sidang menyampaikan pemberitahuan kepada pada pihak terkait persidangan yang dilakukan oleh MK agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ia mengatakan bahwa para pihak dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menggunakan fasilitas persidangan online dengan memanfaatkan teknologi yang digunakan dan dimiliki oleh MK.
Untuk dapat memanfaatkan fasilitas tersebut, lanjut Enny, terdapat ketentuan yang harus diperhatikan para pihak, yakni para pihak mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk menggunakan fasilitas persidangan online 2 (dua) hari sebelum hari sidang diselenggarakan dengan memberitahukan tempat para pihak serta perangkat yang dimiliki. Para pihak dapat menggunakan fasilitas persidangan online tersebut langsung dari kediaman atau tempat tinggalnya.
Adapun jaringan aplikasi yang digunakan oleh MK di masa pandemi Covid-19 adalah aplikasi Cloudx dan Zoom. Sementara itu, bagi masyarakat umum yang ingin mengikuti jalannya persidangan secara online dapat mengaksesnya melalui streaming youtube.
“Apabila para pihak ingin mengetahui teknis penggunaan fasilitas persidangan online dapat menghubungi tim IT melalui juru panggil,” sebutnya.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan, pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Rene Putra Tantrajaya mengatakan pihaknya telah melakukan beberapa perbaikan permohonan sesuai saran hakim pada persidangan sebelumnya. Ia melakukan perubahan data pemohon yang sebelumnya pemegang saham diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT), yaitu PT Korea World Center Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh direktur utamanya Mr. Gi Man Song.
Rene juga mengungkapkan, alasan permohonan dalam perbaikan ini lebih singkat dari sebelumnya. “Pada alasan permohonan, pada pokoknya sama namun dipersingkat karena pada permohonan sebelumnya terlalu panjang,” tegasnya.
Sedangkan perubahan dalam petitum, Rene meminta agar MK menyatakan Pasal 235 ayat 1 dan Pasal 293 UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945. “Oleh karenanya tidak memiliki kedudukan hukum mengikat untuk itu dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI),” pinta Rene dalam petitum.
Baca Juga…
Warga Negara Korea Selatan uji UU Kepailitan dan PKPU
Sebelumnya, Para Pemohon merupakan investor sekaligus pemegang saham yang berkewarganegaraan Korea Selatan pada PT Korea World Center Indonesia (suatu perusahaan penanaman modal asing) di Indonesia. Dalam permohonannya disebutkan bahwa secara de facto dan de jure, Pemohon telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya serta diskriminasi hukum akibat pasal tersebut.
Sekitar dua tahun lalu, tepatnya 28 November 2018, Pemohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya dalam perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, menurut Pemohon, pernyataan tersebut tidak tepat. Pemohon merasa kepailitan terjadi bukan karena hutang-piutang, tetapi karena kewajiban membayar jasa mediator. Pemohon berpendapat, homologasi sudah disetujui oleh seluruh kreditur, yang seharusnya dilaksanakan dan tidak boleh ditolak oleh hakim dengan alasan tidak adanya jaminan untuk pembayaran tim pengurus.
Kuasa Hukum Pemohon, Rene Putra Tantrajaya menyampaikan pada sidang perdana, Kamis (5/3), Pemohon sudah memberikan 7 (tujuh) lembar Bilyet Giro pada rekening aktif guna pembayaran tersebut, dan telah diterima oleh tim pengurus. Namun, Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh Pemohon tidak dapat diterima, sebagaimana dalam Putusan Nomor 83/PK/Pdt.Suspailit/2019. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasalnya, pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan asas keadilan, sehingga menimbulkan kerugian secara konstitusional bagi Pemohon. Adanya pembatasan upaya hukum tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya celah yang akan dimanfaatkan untuk merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat. (Utami/NRA).