JAKARTA, HUMAS MKRI - Meskipun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta masih berlangsung, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap melaksanakan kewenangan untuk menggelar sidang pengujian undang-undang dengan menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) sesuai ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Namun demikian, dalam imbauan pada persidangan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) ini, MK Ketua Panel Hakim Suhartoyo mengatakan bahwa para pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak lainnya tetap dapat mengikuti jalannya persidangan dengan menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online).
Untuk mendukung jalannya persidangan daring, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx guna memudahkan berbagai pihak yang akan mengajukan perkara untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Untuk mengajukan permohonan persidangan daring, para pihak terlebih dahulu harus menginformasikan perihal perangkat yang dimanfaatkan untuk mengikuti jalannya persidangan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK sekurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan ketersesuaian perangkat dan kelancaran jaringan dalam penyelenggaraan persidangan nantinya.
Pada Senin (11/5/2020), MK menggelar sidang perkara Nomor 19/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh Pazriansyah (Pemohon I) dan Firdaus (Pemohon II). Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 30, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, selaku perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai karyawan atau kolektor internal dari sebuah perusahaan pembiayaan di daerah Tembilahan, Pekanbaru, Riau, bahwa dalam kasus konkret saat menjalankan pekerjaan ketika mengeksekusi jaminan fidusia, pihaknya justru mendapatkan pelaporan atas dugaan tindakan pidana pencurian dan perusakan. Padahal eksekusi jaminan fidusia tersebut dilakukan kepada debitur wanprestasi, yang sudah tidak memiliki kesanggupan dalam memenuhi ketentuan perjanjian pembiayaan.
Singkatnya dalam proses hukum lanjutan, para Pemohon dijatuhi hukuman penjara selama lima bulan sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 282 K/PID/2018 tertanggal 8 Mei 2018. Atas perlakukan ini, para Pemohon menilai pihaknya telah ditempatkan pada kedudukan hukum yang salah. Sehingga dengan terpaksa harus menjalankan hukuman penjara, akibat tuduhan pencurian objek jaminan fidusia, yang seharusnya adalah kewenangan dari kreditur yang bersangkutan untuk mengambil sebuah objek jaminan fidusia yang telah bermasalah tersebut.
Dalam pandangan para Pemohon, bahwa UU Jaminan Fidusia memberikan jaminan preferen kepada kreditur dalam menciptakan sistem penagihan dan eksekusi objek jaminan fidusia, baik yang dijalankan oleh karyawan perusahaan pembiayaan atau kolektor internal maupun dengan menggunakan jasa perusahaan penagihan atau kolektor eksternal. Tetapi dengan respon keliru dari debitur yang berkarakter buruk, maka pekerjaan kolektor menjadi sulit karena rentan akan ancaman pidana atau penjara.
“Padahal tindakan mereka itu (para Pemohon) dalam melakukan pekerjaannya telah sesuai dengan UU Jaminan Fidusia. Debiturnya telah wanprestasi, maka kreditur bisa mengambil barang jaminan fidusia berupa sepeda motor,” jelas Ari JC Pasaribu selaku salah satu kuasa hukum di hadapan sidang yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih tersebut.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, para Pemohon berpendapat ketentuan yang ada pada pasal-pasal yang diujikan tidak memberikan kepastian hukum dan bahkan tidak dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi para kolektor dalam menjalankan pekerjaannya, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Sistematika Permohonan
Menyikapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menguraikan bahwa permohonan para Pemohon belum sesuai dengan sistematika permohonan pengajuan perkara ke MK. Ia menyebutkan satu persatu bahwa dalam isi pokok sebuah permohonan perkara di MK harus memuat identitas, pasal yang diuji, landasan yang diuji, kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon, posita, dan petitum. Untuk itu, para Pemohon diharapkan dapat membaca dan mempelajari dengan baik butir-butir permohonan yang pernah diajukan banyak Pemohon lainnya di laman resmi MK.
“Permohonan tidak perlu terlalu panjang, namun kejelasan hal yang diujikan tercakup dalam permohonan dan landasan konstitusional pengujiannya dengan UUD 1945 menjadi fokus dan tajam. Ini permohonannya tidak tajam dan belum fokus pada hal-hal yang dibutuhkan Mahkamah dalam letak kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon,” terang Arief di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa MK adalah peradilan khusus untuk pengujian konstitusionalitas norma. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan para Pemohon adalah penjelasan pasal demi pasal yang diajukan pengujiannya belumlah jelas dan cenderung tidak konsisten.
“Batu uji permohonannya di mana hak konstitusional para Pemohon yang telah dirugikan. Jadi, jangan asal mencantumkan pasal-pasal karena semakin banyak ketentuan konstitusi yang dimunculkan pda permohonan, maka Anda bertanggung jawab pula untuk menjelaskannya,” jelas Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan nasihat agar para Pemohon mencermati betul identitas prinsipal dalam pengajuan perkara ini; para Pemohon akan mengajukan diri selaku perseorangan atau sesuai profesi. Mengingat hal ini sangat berpengaruh pada kekuatan dari kedudukan hukumpara Pemohon. Sehingga diharapkan, para Pemohon dapat melengkapi bukti-bukti dari profesinya berupa surat kuasa untuk menagih atau mengambil objek jaminan fidusia kepada debitur.
“Jika hal ini yang dipilih, maka para Pemohon harus melampirkan bukti-bukti, jika tidak ada nanti tidak akan bisa masuk pada pokok permohonan. Maka dari itu, para Pemohon harus benar-benar memperkuat kedudukan hukumnya terlebih dahulu,” ujar Suhartoyo.
Pada akhir persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 26 Mei 2020 pukul 09.30 WIB ke Kepaniteraan MK. Agar kemudian, MK dapat mengagendakan jadwal persidangan berikutnya. (Sri Pujianti/ASF/LA)