JAKARTA - Niat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tidak hanya gertak sambal. Kemarin (10/4), DPD secara resmi mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU yang dinilai merugikan kepentingan daerah itu.
Gugatan diajukan oleh tujuh pemohon. Yakni DPD RI, anggota DPD RI, warga daerah, Sekretaris Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Center for electoral Reform (Cetro), Indonesia Parliamentary Center, dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Sebagai kuasa hukum, mereka menunjuk pengacara senior Todung Mulya Lubis.
Todung mengungkapkan, pihaknya meminta kepada MK untuk memprioritaskan pengajuan uji materiil UU Pemilu yang mereka ajukan. "Kenapa? Karena kami tidak ingin menghambat proses ketatanegaraan (pemilu, Red) yang tidak bisa ditunda," ujar Todung usai mendaftarkan perkara. Namun, pemohon juga tidak ingin UU Pemilu diberlakukan begitu saja karena dianggap melanggar UUD 1945.
Uji materiil UU Pemilu terkait dengan pasal 12 yang menghapuskan syarat domisili dan pasal 67 yang membolehkan anggota parpol menjadi anggota DPD. Dua pasal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 22 C ayat (1) dan 22 E ayat (4) UUD 1945. "Ini bukan hanya melemahkan DPD, tapi membajak DPD. Menggergaji dan menggerogoti kepentingan daerah," tegas Todung.
Di tempat yang sama, pengamat politik UI Arbi Sanit mengatakan, ada kecenderungan UU Pemilu telah diperalat parpol. Ini menyebabkan kewenangan parpol sangat kuat. Akibatnya, banderol parpol menjadi sangat mahal. Karena. Mulai dari pilkada hingga pemilihan presiden harus melalui jalur parpol.
"Mereka menggunakannya untuk melebarkan sayapnya, sehingga tanpa batas. Ini bahaya," kata Arbi. Menurutnya, pengalaman masa lalu di mana militer dikuasai dan menjadi alat kekuasan, tidak boleh terulang. "Kalau dulu saya ikut lawan Soeharto karena militernya, sekarang saya ikut melawan parpol karena ingin mendominasi," tegas Arbi.
Koordinator tim judicial review UU Pemilu DPD Muspani mengatakan, pihaknya akhirnya tidak menyertakan aliansi parpol dalam daftar pemohon. Pasalnya, meski sama-sama menggugat UU Pemilu, tujuan DPD dan aliansi parpol berbeda. "Karena tidak ketemu (titik temu), akhirnya mengajukan sendiri-sendiri," katanya.
Secara terpisah, Ketua DPR Agung Laksono menanggapi biasa saja gugatan yang diajukan DPD. Dia mengatakan, UU Pemilu yang disusun di DPR bisa dikritisi oleh siapa saja. "Termasuk DPD, karena itu tidak ada yang perlu dirisaukan," ujarnya.
Gugatan DPD tersebut, kata Agung, tidak boleh dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap DPR. Menurut dia, meski sama-sama lembaga tinggi negara, perbedaan pendapat antara DPD dan DPR sangat mungkin terjadi. "Meski tetap ada kaitan, kamar kita masing-masing kan tetap beda. Jadi, lebih baik ditunggu saja keputusannya nanti bagaimana," ujar wakil ketua umum DPP Partai Golkar itu. (fal/dyn/yun)
Sumber www.indopos.co.id
Foto http://www.triangle.eu.com/conferences/images/DPD.jpg