“Untuk itu, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan,” demikian keterangan Presiden Joko Widodo sebagaimana tercantum dalam laman Sekretaris Kabinet Republik Indonesia tertanggal 1 April 2020.
Akan tetapi, tindakan Pemerintah tersebut dipertanyakan secara konstitusionalitas oleh sejumlah masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya dua permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar Perppu No. 1/2020 tersebut diuji secara konstitusional.
Kebal Hukum
Pada 9 April 2020, sejumlah elemen masyarakat menguji Pasal 27 Perppu No.1/2020, yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA. Kemudian pada 14 April 2020, Din Syamsuddin, Amien Rais, dan Sri Edi Swasono mengajukan permohonan serupa ke Kepaniteraan MK melalui aplikasi simpel.mkri.id.
Dalam kedua permohonan tersebut, para Pemohon menilai Pasal 27 Perppu No. 1/2020 berpotensi menjadikan pejabat atau penguasa seperti KKSK kebal hukum. Hal tersebut karena Pasal 27 Perppu No. 1/2020 menyebut KSSK ataupun pejabat pelaksana Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata.
Pasal 27 Perppu No. 1/2020 menyatakan:
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Selain kewenangan yang dinilai kebal hukum, Pasal 27 Perppu No. 1/2020 juga dinilai berpotensi memunculkan korupsi dengan adanya Pasal 27 ayat (1) terutama frasa “bukan merupakan kerugian negara”. Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat apalagi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur keuangan negara dalam kondisi tidak normal atau darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).
Tidak Ada Kegentingan Memaksa
Din Syamsuddin, dkk., pun mendalilkan bahwa Perppu No. 1/2020 tidak memenuhi tiga syarat “kegentingan memaksa” sebagai parameter perlunya Presiden menerbitkan sebuah perppu berdasarkan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Tiga syarat tersebut, yakni adanya keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutukan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesat tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Menurut Pemohon, Perppu No. 1/2020 membahas mengenai masalah keuangan dan anggaran negara sementara anggaran negara sudah ditetapkan dalam APBN. Kemudian alasan pandemi Covid-19 yang menjadi alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi. Indonesia tercatat telah memiliki UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang dapat dijadikan dasar hukum mengambil kebijakan penanganan Covid-19.
Menanggapi permohonan yang masuk ini, Panitera Muda I Triyono Edy menyebut Kepaniteraan MK masih memproses kelengkapan syarat dari keduanya. Jika memenuhi persyaratan, maka Kepaniteraan akan meregistrasi nomor perkara dan menentukan panel hakim serta jadwal sidang. (Lulu Anjarsari)