JAKARTA (Suara Karya): Rapat Paripurna DPR menyetujui pengesahan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP) 2008, meski sejumlah fraksi menyampaikan catatan atas itu.
Persetujuan pengesahan APBNP 2008 itu tercapai setelah 10 fraksi di DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pendapat akhir. Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono, disepakati besarnya pendapatan negara dan hibah sebesar Rp 895 triliun dan belanja negara sebesar Rp 989,3 triliun. Karena itu, terdapat defisit sebesar Rp 94,3 triliun atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pendapatan negara dan hibah terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp 892 triliun dan hibah Rp 2,9 triliun. Penerimaan dalam negeri mencakup penerimaan pajak sebesar Rp 609,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 282,8 triliun. Sementara belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 696,7 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 292,6 triliun.
Selain itu, APBNP 2008 juga menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen, inflasi 6,5 persen, suku bunga SBI 3 bulan 7,5 persen, kurs Rp 9.100 per dolar AS, harga minyak 95 dolar AS per barel, dan lifting minyak 927.000 barel per hari.
Fraksi Partai Golkar (FPG) melalui juru bicaranya, Zulkarnaen Djabar, memberi catatan bahwa FPG menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, yaitu sebesar 6,5 persen. Sementara FPDIP melalui juru bicaranya, Hasto Kristiyanto, memberi catatan pada asumsi pertumbuhan ekonomi dan defisit. FPDIP menginginkan agar pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 6,3 persen. "FPDIP keberatan terhadap target pertumbuhan yang muluk-muluk, namun rapuh akibat topangan defisit yang semakin besar," katanya.
FPDIP mencatat, defisit telah membengkak dari Rp 14,4 triliun (0,5 persen dari PDB) pada APBN 2005 menjadi Rp 94,5 triliun (2,1 persen) pada APBNP 2008. "Melihat ancaman ketidakstabilan fiskal, tradisi berutang yang berkelanjutan, dan realitas pertumbuhan ekonomi yang kembali ditopang konsumsi, maka FPDIP berpendapat bahwa defisit anggaran yang realistik adalah 1,9 persen terhadap PDB," ujar Hasto.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, pemerintah harus bisa mengendalikan defisit APBN, sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga. "Kuncinya pemerintah harus bisa mengendalikan defisit sampai ke tingkat paling rendah, misalnya 1,5 persen. Defisit rendah akan mengurangi kebutuhan penerbitan obligasi negara dan meningkatkan kepercayaan terhadap APBN," kata Dradjad.
Menurut dia, saat ini kepercayaan masyarakat merosot dan penerbitan obligasi negara berada dalam kondisi di tengah pasar yang tidak kondusif. "Untungnya pemerintah sudah mengumumkan jumlah penerbitan obligasi negara, sehingga pasar tidak terkejut dan bisa terefleksi di harga," ujarnya seraya menambahkan bahwa pemerintah harus meyakinkan agar jangan ada aksi pengembalian obligasi negara yang sudah dibeli masyarakat.
Mengenai upaya menutup defisit dengan utang luar negeri, Dradjad mengatakan, hal itu merupakan langkah yang tidak tepat, karena kreditor pasti akan menerapkan persyaratan, misalnya penjualan aset BUMN. "Saya wanti-wanti agar jangan ada upaya yang mau menjual BUMN strategis. Bank Dunia bunganya cukup tinggi, sehingga pelaku pasar akan bisa lihat itu dan berimbas ke pasar modal," katanya.
Seharusnya, pemerintah mengandalkan sumber-sumber penerimaan pajak, cukai, PNBP, dan konsentrasi pengendalian belanja. "Bahkan pemotongan anggaran 10 persen tidak akan cukup untuk mengamankan APBN. Seharusnya pemotongan 20 persen. Tapi mudah-mudahan strategi awal memotong 10 persen dan anggaran yang tak terserap bisa mengembalikan kepercayaan terhadap APBN," katanya.
Menanggapi hal itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBNP 2008 sebesar 2,1 persen dari PDB atau sebesar Rp 94,5 triliun masih berada dalam tingkat konservatif. Bahkan jika dikombinasikan dengan rasio tingkat utang negara terhadap PDB sekitar 32-34 persen, maka masih dalam kategori cukup baik.
Menurut dia, dengan kondisi pasar global yang masih tidak menentu, dan berkecenderungan ke arah perkembangan yang kurang menguntungkan, maka tingkat defisit APBNP 2008 itu harus dijaga agar tidak meningkat dan diupayakan untuk diturunkan.
"Tingkat defisit tersebut untuk ukuran negara-negara berkembang di dunia masih dalam tingkatan yang cukup konservatif. Demikian juga karena struktur APBNP 2008 sangat didominasi oleh besaran subsidi BBM dan listrik yang sangat rentan terhadap faktor perubahan harga dan volume. Jadi perlu ditegaskan bahwa pemerintah secara bersungguh-sungguh dan tanpa kompromi akan menjaga agar belanja subsidi BBM dan listrik serta besaran subsidi dapat dikendalikan. Sehingga bisa berada di tingkat yang tidak membahayakan kelangsungan dan keamanan APBNP 2008," katanya.
Dengan tingkat defisit itu, pemerintah akan mengoptimalkan sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri dengan biaya dan tingkat risiko yang seminimal mungkin. Ini termasuk dengan lebih banyak memanfaatkan variasi instrumen utang. Ketika menghadapi gejolak dan sentimen negatif di pasar saham dan obligasi yang terjadi akibat perlambatan ekonomi global, pemerintah secara konsisten akan menjaga kepercayaan investor terhadap obligasi negara.
Di tempat terpisah, Direktur Indef Fadhil Hasan mengatakan, beberapa asumsi di APBNP 2008 tidak realistis, terutama menyangkut inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan besaran subsidi. Dalam hal ini, inflasi sebesar 6,5 persen sulit direalisasikan jika melihat tren gejolak harga yang hampir dipastikan akan terus terjadi sepanjang tahun. Selain itu, target pertumbuhan ekonomi juga tidak sesuai dengan analisis dan kajian dari berbagai lembaga perekonomian internasional maupun di dalam negeri.
"Jika melihat tren kenaikan harga komoditas pangan dan minyak dunia, inflasi tahun ini bisa mencapai 7 sampai 7,5 persen. Dan jika melihat gejolak perekonomian di dunia, maka pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai berada di kisaran 6 sampai 6,2 persen," kata Fadhil.
Menurut dia, dalam APBNP 2008, belanja untuk subsidi yang mencapai lebih dari Rp 160 triliun jauh lebih besar dibanding anggaran kementerian/lembaga negara. Padajal anggaran kementerian dan lembaga negara juga digunakan untuk kegiatan produktif dan bisa menjadi stimulus untuk perekonomian rakyat. "APBN seharusnya bisa ekspansif dengan prioritas untuk belanja modal dan sosial yang bisa menstimulus perkenomian rakyat. Jadi wacana menaikkan harga BBM bersubsidi maksimal 10 persen tidak akan menjadi masalah daripada pemerintah terpaksa menambah subsidi karena peningkatan konsumsi," ujarnya. (Andrian/Indra)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id