JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Ghoffar mengupas secara gamblang kewenangan MK kepada 150 mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja Bali yang berkunjung ke MK pada Selasa (10/3/2020).
Ghoffar menerangkan, Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan hal yang luar biasa. “Di Portugal, Italia, Spanyol misalnya, warga negara tidak boleh melakukan pengujian undang-undang, Hanya institusi-institusi pemerintahan yang boleh melakukan pengujian undang-undang,” ujar Ghoffar kepada para mahasiswa.
Berbeda dengan di Indonesia, sambung Ghoffar, seorang warga negara asalkan sudah dianggap dewasa secara hukum, mempunyai kedudukan hukum, maka dia boleh maju melakukan pengujian undang-undang.
Selanjutnya, kata Ghoffar, ada kewenangan MK memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan kita hierarki, top down. MPR menempati posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Kala itu dua sepertiga anggota MPR dipilih oleh Presiden.
“Ini bisa terjadi karena yang membuat aturan itu adalah Presiden melalui undang-undang. Presiden kala itu menjadi penafsir tunggal Konstitusi,” ungkap Ghoffar yang menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan.”
Setelah perubahan UUD 1945, kedudukan lembaga-lembaga negara di Indonesia se-level. Ketika kedudukan lembaga-lembaga negara sudah setara, maka diperlukan ‘wasit’ saat terjadi sengketa antara lembaga negara. Di sinilah peran MK dengan kewenangannya memutus sengketa antara lembaga negara.
Berikutnya, lanjut Ghoffar, ada kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Ghoffar tak lupa menjelaskan alasan kewenangan ini. “Karena perlu proses pengamanan sepanjang pemilu berlangsung. Dahulu menurut UU PTUN, yang namanya pemilu itu tidak boleh disengketakan. Artinya, apapun hasilnya, ada kecurangan dan sebagainya, yang mempunyai kewenangan adalah pemerintah,” imbuh Ghoffar.
Ghoffar juga menjelaskan kewenangan MK memutus pembubaran partai politik. “Pembubaran politik sekilas dianggap remeh. Tapi menurut saya, pembubaran partai politik penting di Mahkamah Konstitusi. Kalau memang pemerintahnya bagus, tidak ada masalah bagi keberadaan partai politik. Sebaliknya kalau pemerintahnya buruk, ada kemungkinan semua partai politik dibubarkan. Selanjutnya pemerintah mendirikan dua partai politik baru. Apa yang terjadi? Apapun yang dicoblos oleh rakyat saat pemilu, dua partai politik baru itu akan mendukung pemerintah,” papar Ghoffar yang menyebutkan pada masa Orde Lama beberapa partai politik dibubarkan oleh pemerintah.
Selain itu, ada kewenangan MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Sebelum terjadi amendemen UUD 1945, beberapa Presiden Indonesia lengser secara politis.
“Presiden Soekarno berhenti secara politik. Demikian juga Presiden Soeharto, beliau menyatakan berhenti atas keinginan sendiri. Fakta politik saat itu sudah tidak memungkinkan Pak Harto untuk meneruskan jabatannya. Kemudian Presiden BJ. Habibie dan Gus Dur yang juga berhenti melalui jalan politik,” tandas Ghoffar. (Nano Tresna Arfana/NRA).