JAKARTA (SINDO) â Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali mengancam akan melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke polisi. itu dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution terkait belum diizinkannya BPK mengaudit biaya perkara di MA.
âWaktu itu, kita pernah laporkan MA ke polisi. Tapi, karena MA menyatakan janji di depan Wapres dan Presiden,kita akhirnya mencabut laporan itu. Nyatanya, sampai sekarang dia (MA) belum mau diperiksa. Kita akan laporkan (ke) polisi lagi,â tandas Anwar Nasution di Jakarta kemarin.
Laporan itu, ungkap dia, baru akan dilayangkan setelah uji materiil (judicial review) atas UU Perpajakan ke Mahkamah Konstitusi (MK) selesai. âPelan-pelan dulu, kita laporkan ke polisi setelah MK selesai,âpaparnya. Menurut Anwar, pelaporan BPK ke kepolisian didasarkan pada undangundang yang menyatakan, siapa yang tidak mau diperiksa BPK bisa dilaporkan ke polisi.
Anwar menyatakan, MA dinilai tidak mau menepati janji yang telah dibuat bersama dengan BPK di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Sebab, hingga saat ini MA belum bersedia diperiksa dan mempertanggungjawabkan pemungutan biaya perkaranya.
âTernyata,janji Ketua MA (Bagir Manan) di depan Presiden dan Wapres pada 21â22 September 2007 belum dapat direalisasi,âtandasnya. Menurut Anwar, setelah Presiden SBY turun tangan untuk memberikan jalan tengah bagi persoalan ini,Ketua MA sempat berjanji untuk melaporkan biaya perkara yang dipungut lembaganya. Mengetahui niat baik Ketua MA tersebut,akhirnya BPK langsung mencabut laporannya di kepolisian.
âTapi apa sekarang, belum bisa direalisasi,â kata Anwar. Seperti diketahui, perseteruan antara MA dan BPK terkait biaya perkara bermula pada 2006.Saat itu,BPK menemukan adanya sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp7,45 miliar. Rekening itu terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp2,58 miliar. Atas temuan ini, BPK kemudian meminta adanya audit atas biaya perkara di MA.
Namun, MA menolaknya dengan menyatakan rekening yang dipersoalkan BPK itu milik MA,bukan negara,yang berasal dari setoran biaya perkara dari pihak yang beperkara.MA juga mengungkapkan, awal 2006 rekeningrekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan,tetapi atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Besarnya biaya perkara kasasi untuk perkara perdata umum ditentukan oleh Ketua MA Bagir Manan melalui SK No KMA/42/SK/III/2002 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2002.SK itu merupakan hasil rapat pimpinan MA pada 19 Februari 2002 yang menaikkan biaya perkara kasasi perdata umum, perdata agama,dan tata usaha negara (TUN) dari Rp200.000 menjadi Rp500.000 yang berlaku sejak 1 April 2002. Adapun biaya perkara perdata dan TUN untuk tingkat peninjauan kembali (PK) ditetapkan melalui SK No KMA/042/SK/VIII/2002 yang ditandatangani Bagir Manan pada 20 Agustus 2001.
SK itu menaikkan biaya perkara dari Rp500.000 menjadi Rp2,5 juta untuk permohonan PK perdata umum,perdata agama, dan TUN yang mulai berlaku pada 1 September 2001. Atas perbedaan pendapat dua pimpinan lembaga negara ini, kemudian Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla berinisiatif memanggil keduanya. Melalui pertemuan ini disepakati biaya perkara di MA tetap bisa diaudit BPK.
Terlalu Berlebihan
WakilKetuaKomisiIIIDPR Mulfachri Harahap menilai sikap Anwar Nasution berlebihan. Sebab,menurut dia, kemelut kewenangan pemeriksaan oleh BPK itu sudah pernah diselesaikan di hadapan Presiden SBY. âKok main ancam lapor segala.Waktu itu kan sudah ada perjanjian penyelesaiannya. Karena itu, harusnya pihak yang sudah berjanji itu saling bertanggung jawab,âtandasnya.
Dalam kasus itu,Mulfachri juga berpendapat bahwa sebenarnya sudah ada aturan yang bisa digunakan untuk mempertanggungjawabkan uang biaya perkara sebagaimana yang dilakukan MA. Hanya saja, pertanggungjawaban dan transparansi dari penggunaanuangituyangoleh banyakkalangandinilaibelum sepenuhnya dilakukan MA.
Dengan begitu, lanjut dia, yang harusnya dilakukan BPK adalah mendorong agar MA mempertanggungjawabkan penggunaan uang biaya perkara tersebut secara transparan. âBukan dengan semangat ingin melakukan pemeriksaan uang tersebut. Sebab uang itu bukan masuk dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Itu milik orang yang beperkara,â ujarnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra menyatakan,seharusnya Presiden SBY punya inisiatif menagih janji MA dalam masalah tersebut. Apalagi, kata dia, saat itu Presidenlah yang memfasilitasi penyelesaian konflik terkait uang biaya perkara di MA. âIni kan waktunya sudah lebih dari yang dijanjikan. Tapi, karena Presiden tidak menagih itu ke MA,wajar jika BPK akhirnya mengeluarkan sikap kerasnya,âkatanya.
Presiden, lanjut Saldi, seharusnya juga memberikan perhatian yang lebih terhadap upaya reformasi birokrasi di bidang peradilan. Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong dan mengingatkan agar MA menepati janjinya terkait transparansi di lembaganya.âPresiden tidak boleh berhenti dan menyerahkan begitu saja masalah ini,âujarnya. (zaenal muttaqin/ rahmat sahid)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto http://www.balipost.com/balipostcetak