JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) digelar pada Selasa (10/3/2020) di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemerintah, yaitu Lily Rustandi selaku pakar bidang penyiaran dan Charles Michael Bura sebagai Saksi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Dalam Undang-Undang Penyiaran tidak diberikan definisi mengenai siaran ulang. Definisi yang diberikan adalah terhadap istilah siaran. Bahwa siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran,” kata Lily kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Lily, dalam Undang-Undang Penyiaran juga diatur mengenai perlindungan hak cipta suatu siaran, terdapat suatu ketentuan bahwa dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar. Selain itu, hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sedangkan dalam Undang-Undang Hak Cipta telah diatur perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran/karya siaran yang dimiliki. Hak ekonomi lembaga penyiaran meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin ataupun melarang pihak lain untuk melakukan penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, dan atau penggandaan fiksasi siaran,” urai Lily yang juga menerangkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten lembaga penyiaran.
Baca juga: Dilarang Transmisikan Informasi Elektronik, Lembaga Penyiaran Berlangganan Gugat UU ITE
Sementara itu, Charles Michael menegaskan bahwa lembaga penyiaran wajib memiliki izin penyiaran, sehingga mereka harus melakukan permohonan perizinan penyiaran.
“Mereka harus menyiapkan dokumen administrasi, dokumen teknis maupun dokumen untuk program siaran. Dari dokumen-dokumen ini nantinya akan dilakukan evaluasi oleh Kominfo dan Komisi Penyiaran Indonesia,” ungkap Charles.
Charles menambahkan, khusus untuk aspek program siaran di dalamnya termasuk jumlah saluran program siaran, lama program siaran dan isi program siaran. “Sesudah dokumen ini masuk dan dievaluasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia, mereka akan mengeluarkan rekomendasi kelayakan yang akan dibawa ke dalam forum rapat bersama Kominfo dan Komisi Penyiaran Indonesia,” kata Charles.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 11/2008, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Pemohon juga menguji Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Nomor 28/2014, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran …”
Pemohon mendalilkan, telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna ArfanaHalim/LA)