JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Pengujian materiil Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (5/3/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 17/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mr. Gi Man Song dan Mrs. So Yun Kim. Para pemohon merupakan merupakan investor sekaligus pemegang saham yang berkewarganegaraan Korea Selatan pada PT Korea World Center Indonesia (suatu perusahaan penanaman modal asing) di Indonesia.
Pada persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Pemohon yang diwakili oleh Rene Tantrajaya selaku kuasa hukum menegaskan bahwa pemohon secara de facto dan de jure telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya serta mengalami diskriminasi hukum akibat Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU. Dia mengatakan, Pemohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya dalam perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Menurutnya, Pemohon dijatuhkan pailit bukan karena hutang-piutang tetapi oleh suatu kewajiban membayar jasa mediator yang nyata-nyata melanggar hukum dan merugikan Pemohon selaku investor yang turut membantu Pembangunan di Indonesia. “Pada kenyataannya, homologasi sudah disetujui oleh seluruh kreditur, yang seharusnya dilaksanakan dan tidak boleh ditolak oleh Hakim hanya karena alasan tidak adanya jaminan untuk pembayaran uang fee tim pengurus, meskipun Pemohon sudah memberikan 7 (tujuh) lembar Bilyet Giro pada rekening aktif guna pembayaran uang fee tersebut, dan telah diterima oleh tim pengurus,” ujar Rene.
Selain itu, Pemohon juga telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) namun tidak dapat diterima, yang mana dalam putusannya menyatakan bahwa perkara a quo berawal dari adanya PKPU, maka berlaku ketentuan pada Bab III Pasal 289 UU KPKPU yaitu Debitor dinyatakan pailit, dan atas putusan pailit tersebut berlaku ketentuan Pasal 290 juncto Pasal 293 UU KPKPU dimana tidak terbuka upaya hukum termasuk permohonan pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam pasal 14 juncto pasal 290 UU KPKPU.
Pemohon beranggapan bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,bahwa setiap orang berhak atas pangakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, karena tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula tidak dapat diajukan upaya hukum luar biasa, dimana hal tersebut merupakan hak mutlak demi kepastian dan keadilan hukum.
Selain itu, pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan asas keadilan, sehingga menimbulkan kerugian secara konstitusional baik bagi Pemohon maupun bagi debitur-debitur lain yang perkaranya tidak sederhana. Dengan adanya pembatasan upaya hukum tersebut, tidak tertutup kemungkinan celah-celah yang akan dimanfaatkan untuk merekayasa suatu persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui peradilan niaga. Menurut Pemohon, hal ini harus dicegah dan tidak boleh terjadi, karena Indonesia sangat membutuhkan kepercayaan investor untuk agar berani menanamkan modalnya guna turut membangun Indonesia, yang hasilnya tentu diharapkan dapat dinikmati dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Pemohon Bukan WNI
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa di dalam pengujian Undang-Undang, para Pemohon perlu memperhatikan kedudukan hukumnya. “Jadi harus diperhatikan UU MK terkait siapa sesungguhnya yang bisa mengajukan permohonan pengajuan pengujian Undang-Undang di MK,” ujarnya. Menurut Enny, di dalam pengajuan permohonan secara perseorangan telah dinyatakan secara tegas dalam UU MK harus Warga Negara Indonesia (WNI). Sedangkan para Pemohon bukan WNI.
Hal yang sama dikatakan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Suhartoyo mengatakan bahwa para Pemohon perlu melihat permohonan-permohonan yang ada di MK untuk memperbaiki struktur dan substasi dalam penyusunan permohonan.
Para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya dan batas akhir perbaikan permohonan pada Rabu, 18 Maret 2019 pukul 12.30 WIB. (Utami/NRA).