JAKARTA, HUMAS MKRI – Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Mohammad Mahrus Ali menyampaikan beberapa hal mengenai MK dan perkembangan terkini mengenai putusan yang bersifat landmark (monumental), yang salah satu cirinya ada putusan yang memuat prinsip hukum baru seperti terkait putusan mengenai pemilu serentak.
Hal tersebut disampaikan Ali saat menerima kunjungan 240 mahasiswa dan 9 dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Inten, Lampung, pada Kamis (5/3/2020) siang di aula Gedung MK.
Selain mengenai putusan landmark, Ali menyebutkan salah satu putusan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa perbankan syari’ah adalah Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012. Ali menjelaskan bahwa putusan tersebut telah memberikan kepastian hukum terkait penjelasan Pasal 55 UU Perbankan Syari’ah yang substansinya tidak sejalan dengan dengan Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
“Oleh karena itu MK membatalkan penjelasan tersebut. Penjelasan Pasal 55 menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syari’ah,” urai Ali.
Berikutnya, sambung Ali, ada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai pemilu serentak memberikan penafsiran terbaru terhadap sebetulnya pemilu serentak itu. MK menyatakan ada enam varian dalam pemilu serentak. “Adanya enam varian tersebut menjadi menarik. Bagaimana KPU maupun pembentuk undang-undang mengatur Pemilu Serentak pada 2024. Kalau putusan terdahulu, MK menyatakan serentak lima kotak. Tidak disebutkan penyelenggaraan seperti apa. Apakah sehari, sekaligus atau bertahap, digabung seperti apa,” urai Ali.
Lebih lanjut Ali mengatakan, undang-undang adalah produk, tidak selamanya undang-undang sejalan dengan apa yang jadi kehendak rakyat. “Pasti ada yang dirugikan, baik mahasiswa, dosen dan masyarakat pada umumnya. Buktinya di MK, kami menerima beragam undang-undang untuk diuji. Tidak hanya terkait dengan pemilu, politik, tapi juga terkait dengan dunia pendidikan, dosen, perkawinan, hukum Islam dan bidang-bidang ilmu lainnya.” jelas Ali.
“Beragam undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang maupun yang ada sejak dahulu kala, tetap bisa jadi keabsahannya terhadap Konstitusi. Artinya kalau ada orang datang ke Mahkamah Konstitusi karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya, maka bisa mengajukan permohonan pengujian undang-undang,” tambah Ali.
Disampaikan Ali, esensi adanya Mahkamah Konstitusi adalah bagaimana meluruskan suatu undang-undang yang berpotensi merugikan hak-hak yang dijamin dalam Konstitusi atau disebut dengan hak-hak konstitusional.
Berikutnya, Ali menerangkan perbedaan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi lebih dikenal dengan court of law, mengadili sistem hukum itu sendiri. Sedangkan Mahkamah Agung lebih disebut sebagai court of justice, mengadili keadilan.
“Kalau Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Konstitusi, bersifat lebih abstrak. Sedangkan Mahkamah Agung mengadili perkara-perkara konkret seperti masalah perkawinan, perceraian, pidana, perdata dan sebagainya,” ujar Ali. (Nano Tresna Arfana/LA)