BOGOR, HUMAS MKRI - Kegiatan peningkatan pemahaman hak konstitusional diharapkan dapat menciptakan pemahaman hak konstitusional yang baik dan sama bagi seluruh warga negara Indonesia. Untuk itulah, para arsitek yang merupakan bagian dari warga negara, harus pulalah punya pemahaman konstitusi yang baik dan komprehensif mengenai hak-hak asasi serta upaya memperjuangkannya. Demikian ucap Wakil Ketua MK Aswanto dalam penutupan kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Ikatan Arsitek Indonesia pada Kamis (5/3/2020) di Grha 3 Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Bogor, Jawa Barat.
Terkait dengan hak konstitusional tersebut, sambung Aswanto, maka sebagai negara yang telah masuk pada tahap pemahaman rule of law, negara Indonesia berdasarkan asas hukum. Itulah sebabnya dalam segala aspek kehidupannya harus dibingkai dengan norma yang disepakati berupa Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan bagaimana hak asasi tidak dinegasikan oleh siapapun termasuk negara.
“Bahkan konstitusi memberikan batasan yang dimasuki negara. Ada hal yang sifatnya sangat prinsip dan subjektif yang tidak boleh diintervensi negara. Itu adalah aturan dasar yang ada di konstitusi kita,” jelas Aswanto di hadapan 75 peserta kegiatan yang juga dihadiri Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Imam Margono dan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Ahmad Djuhara.
Demikian juga dengan keberadaan arsitek, bahwa apabila tidak memiliki sertifikasi maka arsitek tidak boleh berpraktik. Artinya, sambung Aswanto, selalu ada jaminan atas sebuah profesi yang termaktub dalam undang-undang. Tujuannya, negara lahir untuk menjamin hak warga negara yang dapat saja menjadi korban profesi. Lisensi atau sertifikasi untuk praktik arsitek tentu pula disertai dengan kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi sebelum tergabung dalam ikatan profesionalisme lembaga. “Maka ini adalah sebentuk contoh bukti adanya demokrasi konstitusional. Dengan kata lain setiap hak selalu ada batasannya agar tidak berbenturan dengan hak-hak orang lain,” jelas Aswanto.
Melek Hukum
Dalam pesan dan kesan selama mengikuti kegiatan, salah seorang peserta asal NTT menyampaikan rasa syukurnya atas kesempatan belajar terkait konstitusi dan sosialisasi berbagai materi hukum acara di MK yang menjadi nilai positif bagi para arsitek. Terutama ke depan akan semakin membuat pemahaman para arsitek lebih baik dalam memperjuangkan hak dan profesinya di masa mendatang. “Bahwa kegiatan ini menyadarkan kita bahwa arsitek dalam berpraktik harus melek hukum dan konstitusi,” ujar Budi.
Hukum Acara
Pada hari ketiga kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Ikatan Arsitek Indonesia, Peneliti Madya MK Pan Mohamad Faiz dalam materi berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara PUU 2020” mengawali penyampaian terkait perkembangan peradilan konstitusi. Kisah Faiz bahwa judicial review pertama terjadi di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1803. Namun lembaga MK sendiri untuk pertama kali diperkenalkan di Austria pada 1920 yang diprakarsai oleh Hans Kalsen. Sedangkan di Indonesia, MK baru berdiri pada 2003. Meskipun Indonesia ketinggalan 200 tahun dari negara pendiri MK, tetapi perkembangan teknologi telah membuat bangsa Indonesia mampu mengejar ketertinggalan tersebut. “Indonesia tercatat sebagai pendeklarator asosiasi MK dunia bahkan dalam konteks regional Asia, negara kita adalah satu-satunya yang menjadi wakil,” ujar Faiz.
Selanjutnya, Faiz mengajak peserta berkenalan dengan model materi hukum yang dapat diujikan di MK dunia termasuk pilihan MK Indonesia yang menggunakan konsep sebagai lembaga yang berwenang mengujikan undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ia pun menjabarkan secara rinci terkait prosedural Hukum Acara PUU Tahun 2020 di MK yang harus dipedomani para arsitek ketika hendak berperkara ke MK. Bahwa dalam perkara pengujian undang-undang (PUU) di MK terdapat dua kategori, yakni PUU materil dan formil. PUU materil mengutamakan substansi dari sebuah UU, bisa pasal per pasal atau bahkan hingga lampiran suatu UU dapat diajukan pengujiannya. Kemudian, sambungnya, ada pula PUU formil yang terkait dengan prosedur pembuatan sebuah UU apakah telah memenuhi atau bahkan belum memenuhi syarat dalam pembuatannya.
“Tapi dapat juga mengajukan pengujian formil dan materil secara sekaligus. Namun perlu diketahui bahwa untuk PUU formil ada batas waktunya yakni 45 hari setalah disahkannya suatu UU, tapi kalau uji materiil dapat dilakukan kapan saja bisa diujikan tanpa mengenal batas waktu keberlakuan UU yang bersangkutan,” terang Faiz.
Usai mendapatkan materi yang berhubungan dengan Hukum Acara PUU, para peserta kemudian dibagi dalam 4 kelas paralel untuk melakukan praktik penyusunan permohonan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, para peserta yang merupakan Ikatan Arsitek Indonesia melakukan penyusunan perkara atas undang-undang yang dipilih, di antaranya UU Arsitek, UU Jasa Konstruksi, UU Keinsinyuran, dan UU Perguruan Tinggi. Para peserta ini pun dibimbing oleh beberapa tim ahli MK yang terdiri atas Peneliti MK dan Panitera Pengganti MK yang sangat berpengalaman di bidangnya.
Pemanfaatan TIK
Muhamad Aussie dan Rachman Karim dari Unit Kerja IT MK pada hari keempat kegiatan pada Kamis (5/3/2020) pagi memperkenalkan secara teknis beberapa pemanfaatan teknologi dalam pengajuan permohonan perkara ke MK. Sebagai lembaga peradilan yang mengusung konsep peradilan modern, MK bersungguh-sungguh menerapkan perkembangan teknologi.
“Jadi, bisa langsung ke laman mkri.id untuk mengetahui secara jelas halaman dan unit informasi yang dibutuhkan para pihak, mulai dari aplikasi risalah, perkara, putusan, ikhtisar, anotasi. Sehingga dokumen apapun yang dibutuhkan sudah tersedia realtime dan kita pun menggunakan digital signature yang tersertifikasi,” jelas Aussie.
Terkait dengan pengajuan permohonan melalui elektronik, Rachman pun memaparkan alur aplikasi permohonan di MK. Di hadapan para arsitek ini, ia melakukan unjuk kerja bagaimana fitur-fitur yang berkaitan dengan pengajuan permohonan online. “Jadi, untuk permohonan online ini dapat dilakukan siapapun dan di mana pun. Namun demikian, MK juga masih menyediakan pengajuan permohonan offline, terutama bagi kuasa hukum Bapak/Ibu yang akan diarahkan ke Pojok Digital MK yang tersedia di Lantai Dasar Gedung MK,” terang Rachman.
Kegiatan pemahaman hak konstitusional bagi Ikatan Arsitek Indonesia ini diagendakan selama 4 hari sejak Senin - Kamis, (2 - 5/3/2020). Seluruh peserta mendapatkan materi dari hakim konstitusi, para pakar hukum tata negara, serta para Peneliti dan Panitera Pengganti MK yang berpengalaman terkait berbagai hal mengenai sistem hukum tata negara, sistem penyelenggaraan negara menurut UUD 1945, dan praktik pengajuan permohonan pengujian undang-undang. (Sri Pujianti/LA)