JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) memberi keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) R. Gani Muhamad yang mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian materiil UU Pembentukan Kota Sungai Penuh yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (4/3/2020). Agenda sidang perkara Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan keterangan Pemerintah.
Pada sidang tersebut, Gani mengatakan, tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah. Kemudian, lanjut Gani, pemekaran di wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas pemerintahan baik dalam rangka pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan menuju terwujudnya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan Makmur. Pada hakikatnya, pemekaran daerah otonom lebih ditekankan pada aspek mendekatkan pelayanan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Pemekaran daerah merupakan cara atau pendekatan untuk mencepat akselerasi pembangunan daerah. Dan daerah otonom baru yang terbentuk itu merupakan entitas baik sebagai kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial dan budaya,” ujar Gani.
Baca juga: Terdampak Pemekaran, Sejumlah PNS Gugat UU Pembentukan Kota Sungai Penuh
Pada prinsipnya, terang Gani, kebutuhan pemekaran harus dilandasi adanya keinginan untuk peningkatan pelayanan masyarakat tersebut dan pemerintah daerah induk telah sepakat adanya pemekaran. Namun, apabila pemekaran hanya berdasarkan atas adanya keinginan sekelompok dan orang-orang tertentu, maka sebaiknya tidak dilakukan pmekaran. Menurut Gani, Kota Sungai Penuh sebagai daerah otonom baru memerlukan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan pelayanan masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. “Sehingga, dengan adanya UU a quo tersebut, maka Kota Sungai Penuh sebagai daerah otonom baru dapat segera mewujudkan tujuan dari otonomi daerah,’ paparnya.
Perkara yang teregistrasi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh sembilan orang Pemohon yang terdiri atas Pensiunan PNS, advokat, tokoh pemuda, dosen, dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci. Para Pemohon menyebutkan materi muatan pasal a quo menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Sejatinya, permasalahan ini berawal dari pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh. Sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibat dari perbedaan dari hasil pemekaran Kabupaten Kerinci ini adalah perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Dengan terbaginya wilayah menjadi dua daerah otonom merupakan konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran.
Selain itu, Pemohon menganggap Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibu kota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan pada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di desa Bukit Tengah yang masih minim infrastruktur.
Dalam Petitum, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 13 ayat (4) UU Pemmbentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya serta kewajibannya melekat pada fungsi dan keberadaan aset yang diserahkan kepada Kota Sungai Penuh.” (Utami/Lambang/LA)