JAKARTA, HUMAS MKRI - Tiga hakim pengadilan pajak memperbaiki permohonan uji Ketentuan Pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak pada Selasa (3/3/2020) siang. Haposan Lumban Gaol, Triyono Martanto, dan Redno Sri Rezeki.sebagai Pemohon Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020.
Dalam persidangan, Triyono Martanto mengatakan pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada persidangan sebelumnya. Para pemohon telah memperbaiki kedudukan hukum para Pemohon. Dia mengatakan, Pemohon telah menyampaikan bahwa pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Adapun konstitusional yang dilanggar terkait dengan wewenang dalam pengusulan pimpinan pengadilan pajak yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dan wewenang pimpinan pengadilan pajak dalam melakukan pembinaan kepada hakim pengadilan pajak, secara spesifik dan aktual dan setidak-tidaknya bersifat potensial. Dia menegaskan, hal itu sangat mempengaruhi independensi dan kemerdekaan Para Pemohon dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
“Tidak adanya ketentuan yang mengatur periodisasi ketua dan wakil ketua pengadilan pajak akan berakibat tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi yang pada akhirnya merugikan Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan layak yang secara konstitusi dilindungi Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Triyono dihadapan Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku pemimpin sidang.
Kemudian, para pemohon juga sudah menambahkan terkait dengan norma yang dimohonkan dalam pengujian dan norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu ruang lingkup pasal yang diuji; Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak dan dasar konstitusi yang digunakan Pasal 24 Ayat (1), 28D Ayat (1), 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan untuk alasan permohonan, dia menjelaskan, sesuai dengan nasihat Hakim Konstitusi, pihaknya sudah meringkasnya. Sehingga, tidak terlalu panjang. Pemohon juga menambahkan. bahwa pengadilan pajak adalah lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung (MA) dan dengan pembinaan teknis peradilan dan pengawasan umum dilakukan oleh MA itu sendiri. Sedangkan pembinaan administrasi keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Namun, lanjutnya, sebagai pembina organisasi, Menteri Keuangan belum membentuk struktur organisasi dan tata kerja pengadilan pajak, sehingga pengadilan pajak belum memiliki nomenklatur, tidak memiliki anggaran sendiri dan belum terdaftar di Badan Kepegawaian Negara.
Baca juga: Mekanisme Pencalonan Pimpinan Inkonsisten, 3 Hakim Ujikan UU Pengadilan Pajak
Selanjutnya, di poin berikutnya, perubahan yang dilakukan oleh para pemohon, yaitu kewenangan Menteri Keuangan untuk mengusulkan ketua dan wakil ketua tidak transparan dan tanpa parameter yang jelas, sehingga mengaburkan pemahaman mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang seharusnya tidak berada pada pengaruh, potensi pengaruh, pikiran, atau perasaan yang langsung maupun tidak langsung menjadikan hakim pengadilan pajak berada pada ketidakpastian hukum dan kemerdekaannya. Menurut para Pemohon, hal itu berpotensi mereduksi Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak dan juga Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Bahwa ketidakjelasan persyaratan atau inkonsistensi mekanisme pengusulan ketua dan wakil ketua pajak dalam ketentuan pasal a quo berpotensi terjadinya nepotisme dan like dislike dalam proses pengusulannya yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakpastian hukum dan keadilan Para Pemohon,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan sejak pengadilan pajak berdiri pada 2002, mekanisme pengusulan calon Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dilakukan secara berbeda. Inkonsistensi tersebut terjadi karena tidak adanya pengaturan mekanisme pencalonan Ketua dan Wakil Ketua pada pengadilan yang hanya berkedudukan di Ibu Kota Negara ini.
Sementara, berdasarkan Putusan MK Nomor 6/PUUXIV/2016, ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang berbunyi “Ketua, Wakil ketua, dan Hakim diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan”, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal a quo mengatur tiga jabatan yaitu Ketua, Wakil Ketua dan Hakim. Namun, Pemohon perkara a quo mengajukan permohonan berkenaan dengan jabatan hakim.
Dampaknya, menurut Pemohon, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak akan menjabat sampai dengan pensiun karena tidak dapat diberhentikan kecuali melakukan tindak pidana, melanggar kode etik, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, tidak cakap dalam menjalankan tugas dan meninggal dunia. Ketiadaan pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak memiliki potensi terjadinya seseorang akan otoriter, abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi, dan timbulnya kultus individu.
Pemohon juga menilai, kewenangan pengusulan Ketua dan Wakil Ketua oleh Menteri Keuangan dianggap mengurangi kemandirian Hakim Pengadilan Pajak. Dalam hal ini, ketentuan pasal a quo yang merupakan produk politik hukum yang berpotensi membatasi pelaksanaan peradilan yang merdeka. Pasalnya, Menteri Keuangan pada prakteknya termasuk pihak Tergugat/atasan Tergugat yang bersengketa di Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Utami/AL/LA)