JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Senin (2/3/2020) di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dua Ahli Pemohon dan Saksi Pemohon.
Pengajar di Fakultas Hukum UNPAD Sudjana mengatakan bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (2) huruf b UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran menyebutkan, ”Lembaga penyiaran berlangganan harus menyediakan paling sedikit 10 persen dari kapasitas kanal untuk menyalurkan program di lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran swasta.”
“Pengertian wajib dan harus merupakan ketentuan yang bersifat memaksa. Apabila tidak dipenuhi berakibat penyelenggaraan penyiaran tersebut cacat hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum,” ujar Sudjana kepada Majelis Hakim Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Adanya ketentuan tersebut, lanjut Sudjana, sebenarnya menguntungkan lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta. Karena berarti siaran dari lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta dapat menyalurkan programnya melalui lembaga penyiaran berlangganan minimal 10 persen dari kapasitas kanal tanpa harus melakukan perjanjian dengan lembaga penyiaran berlangganan.
“Ketentuan tersebut memiliki konsekuensi bahwa apabila lembaga penyiaran berlangganan yang sudah memiliki izin penyelenggaraan dan boleh bahkan wajib menyalurkan paling sedikit 10 persen dari kapasitas kanal untuk menyalurkan program lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta, maka secara hukum memiliki kewenangan untuk melakukan penyiaran, termasuk me-relay siaran. Hal ini sesuai dengan Pasal 28D UUD 1945,” ungkap Sudjana.
Baca juga: Dilarang Transmisikan Informasi Elektronik, Lembaga Penyiaran Berlangganan Gugat UU ITE
Bukan Jangkauan UU ITE
Sedangkan Ahli Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mustofa Haffas menyampaikan bahwa tujuan dibentuknya UU ITE adalah untuk mengatur tentang informasi elektronik dan dokumentasi elektronik yang berkaitan dengan bukti elektronik, serta mengatur tentang pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tentang tanda tangan elektronik, sistem elektronik dan lainnya.
“Bidang penyiaran tidak termasuk jangkauan Undang-Undang ITE, karena hal itu diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya,” tegas Mustofa.
Oleh karena itu, sambung Mustofa, pengaturan dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik” tidak dapat diberlakukan pada lembaga penyiaran berlangganan.
“Dengan pertimbangan, aktivitas lembaga penyiaran berlangganan pada umumnya tidak menggunakan medium internet. Di samping itu, lembaga penyiaran berlangganan tunduk pada peraturan perundang-undangan penyiaran,” ucap Mustofa.
Mengenai kasus Pemohon yang didakwa melakukan tindakan pidana terkait UU ITE, menurut Mustofa, jika penegak hukum memahami dengan baik jangkauan dari UU ITE, maka seharusnya kasus tersebut tidak ada. Karena apa yang dilakukan Pemohon bukan perbuatan pidana.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 11/2008, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Pemohon juga menguji Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Nomor 28/2014, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran …”
Pemohon mendalilkan, telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna Arfana/Halim/LA)