SAMARINDA, HUMAS MKRI - Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan seminar nasional yang bertajuk “Penyelesaian Perkara Sengketa Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi: Menjaga Demokrasi Bermartabat, Meneguhkan Negara Hukum Indonesia” pada Sabtu, 29 Februari 2020 pagi. Kegiatan yang diikuti oleh 300 peserta yang berasal dari berbagai kalangan tersebut diselenggarakan di Ruang Serbaguna Lantai 4 Rektorat Universitas Mulawarman, Kampus Gunung Kelua, Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam seminar ini, Wakil Ketua MK Aswanto hadir memberikan ceramah kunci.
Aswanto menyampaikan keberadaan MK sebagai anak kandung reformasi adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis. Namun ia menegaskan demokrasi yang diangkat adalah demokrasi yang bermartabat. “Demokrasi yang bermartabat adalah demokrasi yang konstitusional. Demokrasi yang tercantum dalam UUD 1945,” jelas Aswanto.
Dalam kesempatan itu, Aswanto juga menjelaskan perbedaan antara Pileg, Pilpres, dan Pilkada, yakni Pilkada termasuk rezim pemilu. Hal inilah yang disepakati dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, dalam putusannya, MK memutus perlunya ada badan peradilan khusus dan selama ada badan peradilan khusus belum terbentuk, maka masih ditangani oleh MK.
“Waktu itu, MK sedang menangani Pilkada karena putusan MK bersifat erga omnes. Untuk itulah, MK mencantumkan klausul khusus sebelum adanya peradilan khusus, maka masih ditangani oleh MK,” ujarnya.
Menurut Aswanto, MK selalu menekankan bahwa hanya memiliki empat kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, yakni menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilu (pilpres dan pileg) serta pembubaran parpol.
Terkait pilkada, Aswanto mengungkapkan bahwa persoalan yang mendominasi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPU Kada) banyak terjadi di lapangan, semisal rekapitulasi di tingkat PPK. “Yang rawan terjadi kecurangan banyak terjadi penghitungan PPS dan PPK,” ujarnya.
Dalam penanganan PHPU Kada, Aswanto menjelaskan banyak pasangan calon yang tidak mempercayai kekalahan yang ditetapkan oleh KPU. Berbeda dengan MK, pasangan calon akan lebih mudah menerima kekalahannya. Secara tidak langsung, hal ini memenunjukkan kepercayaan masyarakat kepada MK.
“Jangan pernah percaya jika ada yang mengatakan bahwa putusan MK bisa diatur. Hakim akan memeriksa jika memang benar, akan dibenarkan. Begitu juga sebaliknya,” pesan Aswanto.
Hukum yang Disinari Ketuhanan
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang memaparkan materi mengenai “Peran Mahkamah Konstitusi Menjaga Nilai-Nilai Demokrasi dalam Pilkada” menegaskan substansi hukum selalu mengalami pergeseran. Ia menegaskan dalam berhukum, maka harus disinari dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim konstitusi, lanjutnya, selalu mengedepankan hal ini. Sebut saja dalam pembukaan putusan disebut pertama kali tentang ketuhanan.
Selain itu, Arief menyampaikan Indonesia menganut sistem negara hukum yang berdemokrasi. Selain itu, Indonesia juga berdasar pada Pancasila. Maka, lanjutnya, demokrasi Indonesia dapat disebut merupakan demokrasi yang disinari ketuhanan. “Jika dari sisi konsep, negara hukum Indonesia lebih baik dari negara hukum lainnya,” ujarnya.
Maka dengan konsep seperti itu, maka bukan hanya hukum yang disinari Ketuhanan, namun seluruh pelaksanaan demokrasi harus disinari dengan sinar ketuhanan. Akan tetapi, masih saja ada permasalahan dalam menjalankan negara hukum yang demokratis.
Menurut Arief, dalam pelaksanaan penanganan PHPUKada, MK banyak menemukan kasus yang aneh. Ia menilai hampir sebagian besar saksi yang hadir di persidangan berbohong. “Untungnya, para penyelenggara pemilu di daerah dapat dipercaya,” ujarnya.
Arief menegaskan bahwa MK mengedepankan adanya keadilan yang substanstif. Dalam hukum acara MK, ada ketentuan ambang batas pengajuan permohonaan dalam PHPUKada. “Akan tetapi, banyak calon yang memanipulasi agar masuk dalam penghitungan ambang batas,” ujarnya.
Peradilan Modern
Sekjen MK M. Guntur Hamzah hadir pula untuk menyampaikan materi mengenai “Manajemen dan Layanan Penanganan Perkara Sengketa Hasil Pilkada Berbasis ICT”. Ia menyampaikan bahwa segala mekanisme peradilan di MK sudah menggunakan kemajuan ICT. Di MK, terdapat dua sistem pendukung, yakni administrasi yustisial (kepaniteraan) dan administrasi umum (Sekretariat Jenderal). Sejak awal berdiri, MK sudah menanamkan visi dan misi menjadikan MK sebagai peradilan yang modern dan terpercaya. Hal ini ditunjukan dengan cara memudahkan para pencari keadilan kepada Mahkamah Konstitusi.
Salah satu langkah progresif yang disebut Guntur adalah permohonan yang langsung diunggah setelah diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. “Guna mengantisipasi adanya penyelewengan, maka MK memutuskan bukan hanya putusan saja yang langsung di-upload begitu selesai dibacakan, namun juga permohonan begitu selesai teregistrasi. Hal ini bentuk transparansi MK,” jelasnya.
Guntur juga mengungkapkan salah satu bentuk transparansi lain adalah dengan menggunakan live streaming yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Begitupula dengan adanya video conference.
Selanjutnya, Panitera MK Muhidin menjelaskan menjelang Pilkada 2020, MK telah menyusun rumpun Peraturan MK. Terkait pelaksanaan Pilkada 2020, terdapat 270 daerah mengikuti pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Selain itu, Muhidin juga menyampaikan mengenai hukum acara MK. Ia menjelaskan beberapa pihak dapat menjadi pemohon perkara hasil perselisihan hasil pilkada, yakni pasangan calon gubernur, bupati, dan walikota.
Partisipasi Publik dalam Pilkada
Hadirpula sebagai narasumber, yakni Dosen FH Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menjelaskan mengenai partisipasi publik dalam pilkada. Menurutnya, partisipasi publik dalam politik adalah dengan mengintervensi kebijakan pemerintah. Begitupula dalan Pilkada, meski dilakukan dalam waktu singkat, namun suara pemilih dalam pilkada mempengaruhi keberlangsungan pemerintahan daerah selama lima tahun berikutnya.
Untuk penyelenggaraan pilkada yang berhasil maka dibutuhkan penyelenggara pemilu yang bersih dan partisipasi publik yang aktif. Herdiansyah menjelaskan masih ada kurangnya partisipasi publik dalam pilkada. Pertama, kesadaran masyarakat mengenai hak memilih dalam pilkada. Kedua, minimnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah.
Sementara itu, dalam sambutannya, Wakil Rektor UNMUL Bohari Yusuf menyampaikan tema sangat penting apalagi Kalimantan Timur juga menyelenggarakan Pilkada 2020. Banyak yang hendak mendapatkan manfaat dari kegiatan seminar ini. “MK adalah andalan masyarakat dalam menangani sengketa Pilkada. MK menjadi satu-satunya harapan,” jelasnya.
Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, serta partisipasi publik untuk menjaga dan mengawal tahapan dan proses pilkada yang berlangsung demokratis dan konstitusional. Selain itu, seminar nasional ini juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara perselisihan hasil pilkada beserta dengan layanan, proses, mekanisme, tahapan, dan hukum acara. Terakhir, seminar ini diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kultur hukum untuk menaati aturan hukum, menempuh mekanisme yang disediakan, dan menghormati proses dan putusan peradilan terkait dengan sengketa hasil pilkada. Seminar ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, terutama para pemangku kepentingan pilkada, seperti penyelenggara pilkada, partai politik, bupati/walikota, biro hukum pemerintah provinsi/kabupaten/kota, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, akademisi, Guru PKN, dan kalangan masyarakat sipil lainnya di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. (Lulu Anjarsari)