JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Jember (UIJ) pada Jumat (28/02/2020). Para mahasiswa ingin mengenal lebih dekat mengenai seluk beluk MK.
Peneliti MK Anna Triningsih menerima kunjungan para mahasiswa SISIP UIJ sekaligus memberikan paparan mengenai berbagai materi terkait sejarah pembentukan dan kewenangan MK. Anna menjelaskan, MK secara kelembagaan terdiri dari sembilan orang Hakim Konstitusi yang diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga negara, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung (MA).
Menurut Anna, dengan adanya keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, apalagi terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi imparsial MK ini mutlak diperlukan, karena itu rekruitmen Hakim Konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus.
Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 (lima tahun) dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dia mengatakan, Hakim Konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Selain itu, dalam proses pembinaan perilaku etik para Hakim Konstitusi, ketiga cabang kekuasaan itu, yaitu Presiden, DPR, dan MA tetap dilibatkan, yaitu apabila ada dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim Konstitusi, maka komposisi 5 orang anggota Majelis Kehormatan Hakim diisi pula oleh anggota majelis yang berasal dari usulan Presiden, DPR, dan MA masing-masing 1 orang. Dengan demikian, pengawasan etik Hakim Konstitusi dilakukan secara semi eksternal yang menjamin efektifitas, independensi, dan keterpercayaan.
Kemudian, lanjut Anna, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Di samping itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment). Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan tambahan Memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selama belum terbentuk peradilan khusus. (Utami/NRA).