JAKARTA, HUMAS MKRI - Jika mekanisme pengangkatan anggota DPRP Papua berdampak pada timbulnya konflik, maka hal tersebut bukan mengenai konstitusionalitas Pasal 6 ayat (2) UU Otonomi Khusus Papua, melainkan masalah implementasi norma. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 4/PUU-XVIII/2020 pada Rabu (26/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Sehubungan dengan implementasi norma tersebut, Mahkamah menilai bahwa kekhususan dalam pengisian Anggota DPR Provinsi, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, melalui mekanisme pengangkatan yang dipilih oleh Panitia Seleksi merupakan upaya demokratis dalam pengisian anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan,” jelas Arief terkait permohonan yang diajukan oleh Penetina Cani Cesya Kogoya, seorang karyawan swasta yang berdomisili di Kota Jayapura, Papua.
Baca juga: Menyoal Mekanisme Pengangkatan Anggota DPRP Papua
Menurut Mahkamah, apabila terdapat masalah terkait dengan keberadaan anggota Panitia Seleksi yang mempunyai “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, hal demikian tidak pula terkait dengan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua. Bahkan, sebagai implementasi dari norma tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUUVII/2009, pengaturan perihal komposisi keanggotaan Panitia Seleksi dapat disesuaikan tanpa perlu mempersoalkan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001, termasuk misalnya dengan mempertimbangkan “keterwakilan perempuan” secara profesional dan juga mempertimbangkan “keterwakilan masyarakat adat” sesuai dengan “wilayah adat” di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Demikian pula untuk menjauhkan dari “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, bahwa anggota Panitia Seleksi tidak berasal dari unsur yang dapat dinilai berasal dari partai politik.
Mengurangi Peluang
Berikutnya terkait dengan dalil Pemohon bahwa akan timbulnya kekacauan dalam mekanisme “pengangkatan” anggota DPR Provinsi yang ditentukan oleh Perdasus, menunjukkan adanya proses rekrutmen yang tidak demokratis, Mahkamah menilai keberadaan Perdasus merupakan karakteristik yang diberikan oleh UU Otsus Papua. Sedangkan substansi atau materi Perdasus itu sendiri bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
Sementara itu, dalil yang menyatakan pengisian anggota DPRP dan DPRPB melalui mekanisme pengangkatan bertentangan dengan prinsip-prinsip Pemilu yang luber, menurut Mahkamah tidaklah tepat digunakan untuk menilai konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma a quo. Karena, mekanisme pengangkatan memang tidak dimaksudkan penyelenggaraannya dilaksanakan melalui proses pemilihan langsung seperti termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
“Apabila diletakkan dalam konteks otonomi khusus Papua, mekanisme tersebut merupakan wujud dari kekhususan Papua dan Papua Barat, sekaligus memberi ruang yang lebih besar bagi orang asli Papua duduk di DPRP dan DPRPB. Apabila logika Pemohon diikuti, kata “diangkat” dimaknai menjadi “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, selain mengurangi karakter kekhususan Papua dan Papua Barat dalam bingkai NKRI, tindakan tersebut dapat mengurangi peluang orang asli Papua menjadi anggota DPRP dan DPRPB,” terang Arief. (Sri Pujianti/ASF/LA)