JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Tata Cara Perpajakan yang diajukan PT. Wira Pratama Gasindo akhirnya ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (26/2/2020).
Pemohon perkara Nomor 68/PUU-XVII/2019 merupakan badan hukum privat dan pembayar wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty dan telah melaporkan seluruh harta kekayaan pada kantor pelayanan pajak. Namun Pemohon telah dirugikan secara potensial hak konstitusionalnya untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum atas berlakunya ketentuan tidak diakuinya pajak masukan dari SPT Badan Pemohon sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Terhadap hal tersebut, Pemohon telah mengajukan keberatan. Pemohon adalah agen LPG (nonsubsidi) dari PT. Pertamina dan telah membayar PPN Masukan selama tahun 2016. Pemohon tidak pernah memungut PPN Keluaran dari pembeli LPG (nonsubsidi) ketika sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, PPN Kurang Bayar yang didasarkan dari Nilai Peredaran Bruto yang harus memungut PPN-nya sendiri, secara faktual berarti harus ditanggung dan disetorkan oleh Pemohon.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah menegaskan kewenangan negara dalam memungut pajak dan menentukan besaran serta mekanisme pajak, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, bertanggal 11 Desember 2004 antara lain menyatakan bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban semua warga negara maupun orang asing penduduk Indonesia, negara mempunyai kewenangan untuk memaksakan pembayaran pajak terutang yang timbul sejak peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang ditentukan oleh hukum pajak terjadi, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan ketentuan hukum pajak yang berlaku.
Baca juga: Menyoal Pajak Masukan dan Pajak Keluaran bagi PKP
Menurut Mahkamah, timbulnya utang pajak bukan sebagai denda atau hukuman terhadap wajib pajak atau karena adanya hubungan perdata antara wajib pajak dengan negara, tetapi semata-mata adanya kewajiban pembayar pajak. Asas keadilan dalam pemungutan pajak salah satu di antaranya adalah wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus dibayar dan pungut pajak segera setelah utang pajak timbul dan jangan tunda pemungutannya, karena penundaan dapat menimbulkan beban yang lebih berat kepada wajib pajak.
Lebih lanjut, Manahan menyampaikan terhadap kewenangan negara dalam memungut pajak tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal 9 Mei 2018, pada pertimbangannya antara lain menyatakan bahwa secara doktriner, baik berdasarkan ajaran ilmu negara umum maupun hukum tata negara, kewenangan negara untuk memungut pajak adalah diturunkan dari ajaran tentang hak-hak istimewa negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan hal itu telah diterima secara universal. Namun, sesuai dengan prinsip dasar yang berlaku dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, agar dalam pelaksanaannya tidak sewenang-wenang, kewenangan negara untuk memungut pajak tersebut harus diatur dengan dan didasarkan atas undang-undang.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 secara jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 23A yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Undang-undang adalah salah satu perwujudan kehendak rakyat. Dengan kata lain, meskipun negara berdasarkan hak istimewa yang dimilikinya berwenang memungut pajak, sesungguhnya kewenangan itu diberikan atas persetujuan rakyat dan hanya digunakan untuk keperluan negara.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan negara untuk memungut pajak adalah kewenangan yang sah bukan saja karena legitimate secara doktriner tetapi terutama karena secara konstitusional memperoleh landasannya dalam konstitusi, in casu Pasal 23A UUD 1945. Perihal tidak semua warga negara mampu membayar pajak, hal itu adalah fakta sosial atau kenyataan empirik, namun kenyataan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan kewenangan negara memungut pajak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap fakta tersebut, dengan berpegang pada kewenangan yang diberikan Pasal 23A UUD 1945 a quo, negara berhak melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap aturan yang berlaku berkaitan dengan teknis dan praktik penerapan dari undang-undang termasuk besaran dan mekanisme pemungutan pajak karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dinamis. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XVII/2019 tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. (Nano Tresna Arfana/Lambang/LA)