Pemerintah daerah wajib menjamin pengelolaan sampah dengan baik. Jangan sampai terulang konflik dengan warga. Bisa-bisa malah digugat warga lewat class action.
Dewan Perwakilan Rakyat terihat ngebut menyelesaikan sejumlah Undang-Undang, jelang finis masa sidang pada Jumat pekan ini (11/4). Setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Penyelenggaraan Ibadah Haji, Informasi dan Transaksi Elektronik, Pelayaran, Surat Berharga Syariah Negara, kini giliran UU Pengelolaan Sampah yang hendak disahkan. Kamis besok (10/4), giliran UU Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008.
Sidang Paripurna DPR Rabu (09/4) kemarin mengesahkan beleid yang digawangi oleh Komisi VII (bidang energi, pertambangan, dan lingkungan). UU ini terdiri atas 16 bab dan 49 pasal. Karena UU ini memberikan porsi tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah, pembahasan UU ini ditarik ke Panitia Khusus lintas komisi. âPemda dapat bekerja sama antarpemda dalam mengelola sampah. Bisa juga bermitra dengan badan usaha pengelola sampah,â ujar Ketua Pansus Hendarso Hadiparmono dari Komisi VII Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar tak dapat menyembunyikan kegembiraannya lantaran UU ini telah lahir. âMulai tahun ini, Indonesia punya ketentuan tentang pengelolaan sampah,â ujarnya.
Sampah hingga kini masih menimbun dan terus menimbulkan masalah bagi warga. Alih-alih mencegah penumpukan sampah, masyarakat malah acap berkonflik dengan pihak pemda. Sebut saja kasus Jonggol, Bogor, Bantargebang, Bandung, dan sebagainya. Bandingkan dengan kota Wina. Menurut Wakil Ketua Pansus Soekartono Hadiwarsito, ibukota Austria itu mampu mengelola pembuangan sampah di pusat kota. âTanpa menimbulkan polusi dan gangguan terhadap warga. Ini tergantung pada kualitas manajemen,â tutur Soekartono yang dari Komisi II (bidang kewilayahan dalam negeri) Fraksi Partai Demokrat.
UU Pengelolaan Sampah menandaskan, pola tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) yang masih pada ruang terbuka harus diakhiri. Pemerintah daerah harus menutup TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun sejak berlakunya UU ini. Pemda yang bersangkutan harus menjereng rencana penutupan itu setidaknya setahun sejak UU ini berlaku âPasal 44.
Soekartono menjelaskan, pemda yang dimaksud adalah tingkat kabupaten/kota. âKecuali Pemda DKI. Pemerintah provinsi sifatnya hanya sebagai pengawas,â imbuhnya.
Selanjutnya pemda dapat menggandeng perusahaan pengelola sampah. Umumnya berbentuk BUMD. Jika pemda anginan-anginan alias tak serius, bisa-bisa digugat oleh perwakilan warga atau class action. âAdanya klausul hak gugat warga ini adalah kemajuan,â ujar juru bicara FPDIP Willem Max Wiliam.
UU ini masih mengamanatkan 12 Peraturan Pemerintah dan sejumlah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pemda juga kudu membuat perda masing-masing. Aturan tingkat PP dan Permen harus jadi setahun sejak UU ini berlaku. Sedangkan perda harus ada tiga tahun sejak UU berlaku.
Pemerintah daerah wajib menjamin pengelolaan sampah dengan baik. Jangan sampai terulang konflik dengan warga. Bisa-bisa malah digugat warga lewat class action.
Dewan Perwakilan Rakyat terihat ngebut menyelesaikan sejumlah Undang-Undang, jelang finis masa sidang pada Jumat pekan ini (11/4). Setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Penyelenggaraan Ibadah Haji, Informasi dan Transaksi Elektronik, Pelayaran, Surat Berharga Syariah Negara, kini giliran UU Pengelolaan Sampah yang hendak disahkan. Kamis besok (10/4), giliran UU Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008.
Sidang Paripurna DPR Rabu (09/4) kemarin mengesahkan beleid yang digawangi oleh Komisi VII (bidang energi, pertambangan, dan lingkungan). UU ini terdiri atas 16 bab dan 49 pasal. Karena UU ini memberikan porsi tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah, pembahasan UU ini ditarik ke Panitia Khusus lintas komisi. âPemda dapat bekerja sama antarpemda dalam mengelola sampah. Bisa juga bermitra dengan badan usaha pengelola sampah,â ujar Ketua Pansus Hendarso Hadiparmono dari Komisi VII Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar tak dapat menyembunyikan kegembiraannya lantaran UU ini telah lahir. âMulai tahun ini, Indonesia punya ketentuan tentang pengelolaan sampah,â ujarnya.
Sampah hingga kini masih menimbun dan terus menimbulkan masalah bagi warga. Alih-alih mencegah penumpukan sampah, masyarakat malah acap berkonflik dengan pihak pemda. Sebut saja kasus Jonggol, Bogor, Bantargebang, Bandung, dan sebagainya. Bandingkan dengan kota Wina. Menurut Wakil Ketua Pansus Soekartono Hadiwarsito, ibukota Austria itu mampu mengelola pembuangan sampah di pusat kota. âTanpa menimbulkan polusi dan gangguan terhadap warga. Ini tergantung pada kualitas manajemen,â tutur Soekartono yang dari Komisi II (bidang kewilayahan dalam negeri) Fraksi Partai Demokrat.
UU Pengelolaan Sampah menandaskan, pola tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) yang masih pada ruang terbuka harus diakhiri. Pemerintah daerah harus menutup TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun sejak berlakunya UU ini. Pemda yang bersangkutan harus menjereng rencana penutupan itu setidaknya setahun sejak UU ini berlaku âPasal 44.
Soekartono menjelaskan, pemda yang dimaksud adalah tingkat kabupaten/kota. âKecuali Pemda DKI. Pemerintah provinsi sifatnya hanya sebagai pengawas,â imbuhnya.
Selanjutnya pemda dapat menggandeng perusahaan pengelola sampah. Umumnya berbentuk BUMD. Jika pemda anginan-anginan alias tak serius, bisa-bisa digugat oleh perwakilan warga atau class action. âAdanya klausul hak gugat warga ini adalah kemajuan,â ujar juru bicara FPDIP Willem Max Wiliam.
UU ini masih mengamanatkan 12 Peraturan Pemerintah dan sejumlah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pemda juga kudu membuat perda masing-masing. Aturan tingkat PP dan Permen harus jadi setahun sejak UU ini berlaku. Sedangkan perda harus ada tiga tahun sejak UU berlaku.
Sampah dan limbah
Juru bicara dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Chudori menggarisbawahi, harus ada beda tegas antara limbah dan sampah. Maklum, dalam beberapa hal Indonesia masih mengimpor limbah untuk pemenuhan bahan baku industri. âJadi jangan diartikan kita membeli sampah dari negara lain,â ujarnya.
Wakil Ketua Pansus Syamsul Bahri menjelaskan transportasi limbah ini diatur dalam Konvensi Bassel. Menurut Syamsul, dalam konvensi itu, limbah masih boleh diangkut. âSedangkan sampah tak boleh diimpor,â tegasnya.
Kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, serta fasilitas lainnya wajib memiliki sarana pemilahan sampah. Selambatnya paling lama setahun sejak UU ini berlaku. Pemilahan ini antara lain untuk sampah organik, plastik, atau jenis sampah lainnya.
Insentif dan prilaku
Wet ini juga menjanjikan adanya insentif bagi perusahaan yang ramah mengolah sampahnya. âInsentif bisa berupa kemudahan mendirikan usaha,â papar Rahmat seusai sidang.
Nantinya, perusahaan penghasil sampah wajib menyediakan tempat pengepulan sampah khusus untuk daur ulang. âProdusen minuman misalnya. Harus punya outlet untuk menampung botol bekasnya,â jelas Wakil Ketua Pansus dari FPKS, Wahyudin Munawir. Menurut Wahyudin, produsen besar seperti Unilever, Aqua, maupun PT Rajawali sudah menyatakan komitmennya. âAqua berencana membuat botol dari bahan jagung,â sambungnya.
Setegas apapun aturan yang dibuat, masalah sampah adalah persoalan perilaku dan budaya masyarakat. âIni ada kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat yang menimbulkan sampah yang susah diurai,â keluh Rachmat.
Padahal, seharusnya, sampah tak sekadar barang buangan. Sampah sebenarnya bisa digunakan sebagai sumber energi. Misalnya untuk pupuk kompos. Bahkan TPA Jonggol dibikin untuk mengolah sampah menjadi energi. Tapi belum kesampaian.
Nah, sudah saatnya kita peduli terhadap sampah. Reuse, reduce, recycle. Mulailah dari kini.(Ycb)
Sumber www.hukumonline.com
Foto Juru bicara dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Chudori menggarisbawahi, harus ada beda tegas antara limbah dan sampah. Maklum, dalam beberapa hal Indonesia masih mengimpor limbah untuk pemenuhan bahan baku industri. âJadi jangan diartikan kita membeli sampah dari negara lain,â ujarnya.
Wakil Ketua Pansus Syamsul Bahri menjelaskan transportasi limbah ini diatur dalam Konvensi Bassel. Menurut Syamsul, dalam konvensi itu, limbah masih boleh diangkut. âSedangkan sampah tak boleh diimpor,â tegasnya.
Kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, serta fasilitas lainnya wajib memiliki sarana pemilahan sampah. Selambatnya paling lama setahun sejak UU ini berlaku. Pemilahan ini antara lain untuk sampah organik, plastik, atau jenis sampah lainnya.
Insentif dan prilaku
Wet ini juga menjanjikan adanya insentif bagi perusahaan yang ramah mengolah sampahnya. âInsentif bisa berupa kemudahan mendirikan usaha,â papar Rahmat seusai sidang.
Nantinya, perusahaan penghasil sampah wajib menyediakan tempat pengepulan sampah khusus untuk daur ulang. âProdusen minuman misalnya. Harus punya outlet untuk menampung botol bekasnya,â jelas Wakil Ketua Pansus dari FPKS, Wahyudin Munawir. Menurut Wahyudin, produsen besar seperti Unilever, Aqua, maupun PT Rajawali sudah menyatakan komitmennya. âAqua berencana membuat botol dari bahan jagung,â sambungnya.
Setegas apapun aturan yang dibuat, masalah sampah adalah persoalan perilaku dan budaya masyarakat. âIni ada kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat yang menimbulkan sampah yang susah diurai,â keluh Rachmat.
Padahal, seharusnya, sampah tak sekadar barang buangan. Sampah sebenarnya bisa digunakan sebagai sumber energi. Misalnya untuk pupuk kompos. Bahkan TPA Jonggol dibikin untuk mengolah sampah menjadi energi. Tapi belum kesampaian.
Nah, sudah saatnya kita peduli terhadap sampah. Reuse, reduce, recycle. Mulailah dari kini.(Ycb)
Sumber www.hukumonline.com (10/04/08)
Foto http://www.passell.com