JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 55/PUU-XVII/2019 pada Rabu (26/2/2020).
Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon menyebutkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Baca juga: Perludem Gugat Konstitusionalitas Desain Pemilu Serentak
Mahkamah berpendapat, dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak, penentuan model penyelenggaraan menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum. Juga memungkinkan, perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan.
Selain itu, menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.
Perihal dalil Pemohon mengenai pemaknaan sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah menyatakan tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh karena itu, dalil Pemohon perihal pemaknaan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, tidak beralasan menurut hukum.
Dengan telah dinyatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden, dalil Pemohon perihal pemaknaan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2015 serta persoalan konstitusionalitas Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU No. 10/2016 menjadi kehilangan relevansi untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, Mahkamah menilai dalil Pemohon berkenaan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 serta Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU No. 10/2016 ini pun adalah tidak beralasan menurut hukum.
(Nano Tresna Arfana/RA/LA)