JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk seluruhnya. Demikian putusan MK terhadap permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 yang diucapkan Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang MK, pada Rabu (26/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Anwar terkait permohonan yang diajukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan perorangan warga negara, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, Pena Pemantau Pemilu, dan lainnya.
Baca juga: Pemilu Serentak Bermasalah, Sejumlah Warga Negara Gugat UU Pemilu
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat, pemisahan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Artinya, secara substantif Mahkamah berada dalam posisi memisahkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pemilu Presiden dan pemilu legislatif yang konstitusional adalah yang diselenggarakan secara serentak,” kata Saldi.
Saldi menyampaikan setelah melihat bentangan empirik dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019, dengan alasan mewujudkan pemilihan umum yang berkeadilan dan berkemanusiaan sebagai bentuk perwujudan living constitution, para Pemohon berupaya untuk menjemput dan menghidupkan kembali semangat norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
“Dengan upaya menjemput dan menghidupkan kembali norma a quo, para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang diselenggarakan serentak adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional,” papar Saldi.
Berkenaan dengan permohonan a quo, Mahkamah berpandangan bahwa menyandarkan basis argumentasi untuk mengubah pendirian Mahkamah kepada bentangan empirik yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 masih jauh dari cukup dan tidaklah sesederhana itu. Bagi Mahkamah, berbagai catatan sekitar penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus mendapat perhatian khusus.
Namun semua itu tidak cukup untuk mengubah pendirian Mahkamah karena bagaimanapun pertimbangan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sebagai bentuk sistem pemerintahan yang disepakati para pengubah UUD 1945, lebih mendasar dalam menilai konstitusionalitas pemilihan umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum anggota legislatif.
Penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden dan pemilihan umum anggota legislatif secara teori maupun praktik diyakini mampu memberikan kontribusi atas penguatan sistem pemerintahan presidensial, terutama di negara-negara yang menganut sistem kepartaian majemuk.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Saldi.
Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh tujuh Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum. Para Pemohon, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Ronaldo Heinrich Herman. Dalam perkara ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 167 ayat (3) yang berbunyi “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional,” dan Pasal 347 ayat (1) yang berbunyi “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak” sepanjang kata “serentak”. Menurut para Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/Raisa/LA)