JAKARTA, HUMAS MKRI - Semestinya Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ketiga pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) pada Rabu (26/2/2020). Namun sidang perkara yang teregistrasi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini ditunda.
“Sidang ditunda karena DPR dan Kuasa Presiden/Pemerintah belum siap dengan keterangannya. Dengan demikian sidang ditunda pada Rabu, 4 Maret 2020 Pukul 14.00 WIB dengan agenda mendegarkan keterangan DPR dan Pemerintah,” sebut Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Perkara a quo dimohonkan oleh sembilan orang Pemohon yang terdiri atas Pensiunan PNS, advokat, tokoh pemuda, dosen, dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci. Melalui permohonan, para Pemohon mendalilkan Pasal 13 ayat (4) dan ayat (7) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Sebagai informasi bahwa para Pemohon menyatakan materi muatan pasal a quo menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Permasalahan ini berawal dari pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh. Sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi, hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibatnya, terjadinya perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Sehingga wilayah tersebut terbai menjadi dua daerah otonom yang menjadi konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran.
Adapun dampak dari pemekaran ini adalah pemindahan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan kabupaten induk. Awal berdiri, daerah ini menjadi pusat segala kegiatan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan berbagai bangunan perkantoran yang memiliki nilai sejarah. Permasalahan ini tidak muncul apabila pemekarannya adalah menjadi kabupaten baru. Selain itu, kendati Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibu kota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan pada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di Desa Bukit Tengah yang masih minim infrastruktur. Berikutnya, permasalahan ketiga adalah pemindahan personel, penyerahan aset, dan dokumen pada daerah otonom atas aset yang terletak di wilayah daerah otonom baru. Hal inilah yang mendorong permasalahan konstitusionalitas terlanggarnya hak konstitusi para Pemohon. (Sri Pujianti/LAmbang/LA)