JAKARTA, HUMAS MKRI – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki karakteristik bersifat final dan mengikat (final and binding), maka tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti MK Alia Harumdani Widjaja yang menjadi narasumber dalam kunjungan mahasiswa Universitas YARSI. Kunjungan ini dilakukan pada Rabu (19/2/2020) di Aula MK.
Alia melanjutkan tidak adanya upaya hukum lain terhadap putusan MK tersebut dikarenakan untuk memutus ketidakpastian hukum yang berlarut-larut. “Jika terus ada upaya hukum, maka akan terbentur menjalankan norma. Padahal norma itu harus dijalani. Itu karakteristik MK,” ujar Alia yang menjawab pertanyaan seorang mahasiswa.
Dalam paparannya, Alia mengungkapkan MK lahir karena adanya supremasi konstitusi. Sebelum adanya perubahan UUD 1945, Indonesia menganut sistem parlementer yang menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Setelah reformasi, lanjutnya, hal tersebut tidak berlaku lagi karena semua lembaga negara memiliki kedudukan hukum yang sama.
Kemudian, Alia memberikan pemaparan mengenai kewenangan yang dimiliki MK. Kewenangan tersebut, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
Alia membahas mengenai pengujian undang-undang yang lahir dari adanya kasus Marbury vs Madison. Menurutnya, pengujian undang-undang dibutuhkan karena pembentukannya dipenuhi dengan kepentingan politik. “Karena adanya kepentingan politik, maka ada kepentingan warga negara yang bisa saja terlanggar. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme pengujian undang-undang,” jelasnya.
Sedangkan terkait dengan kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, Alia mengungkapkan hal ini hanya bisa diajukan oleh lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945. “Jadi, semisal KPK ingin mengajukan SKLN tidak bisa karena kewenangan KPK diatur oleh undang-undang,” ujarnya.
Setelah mendapatkan materi mengenai MK dan kewenangannya, para mahasiswa yang terdiri dari Mahasiswa Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas YARSI tersebut mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi dan MK. (Lulu Anjarsari)