JAKARTA, HUMAS MKRI – Reformasi sistem jaminan pensiun dan jaminan hari tua Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke depan akan berdasarkan pada dua pilar, yakni sebagai hak dan penghargaan. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Indra Budi Sumantoro selaku Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada Senin (17/2/2020). Sidang perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh para pensiunan dan PNS aktif ini mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam keterangannya, Indra yang dihadirkan Pemerintah sebagai Ahli menerangkan pilar pertama adalah jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagai hak PNS yang merupakan bagian dari Program Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Hal ini bermakna negara bertanggung jawab negara melindungi seluruh rakyatnya dari berbagai risiko seperti sakit, cacat, tua, dan meninggal dunia agar tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. “Jadi, sifat dari manfaat perlindungan yang diberikan terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar,” jelas Indra di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Pilar kedua, lanjut Indra, jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagai penghargaan bagi PNS yang merupakan program kesejahteraan pegawai. Hal ini dikenal dengan istilah on top atau top up pensiun yang dapat diselenggarakan oleh PT Taspen atau berdasarkan kebijakan lainnya yang diputuskan oleh pemerintah ke depannya. Ia juga memaparkan manfaat lainnya dari penerapan penghargaan ini, yakni sebentuk usaha dari pemberi kerja dalam rangka mendapatkan orang-orang terbaik di pasar kerja, memperkuat loyalitas pegawai guna meminimalisasi turn over karyawan, dan memberikan proteksi terhadap risiko khusus.
“Sejatinya di Indonesia penerapan dua pilar ini sudah berjalan di sektor swasta. Ada beberapa perusahaan selain mengikutsertakan pegawainya pada kedua BPJS, juga menyelenggarakan dana pensiun pemberi kerja (DPPK) atau bahkan bekerja sama dengan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) dalam memberikan manfaat pensiun tambahan sebagai bagian dari program kesejahteraan pegawai,” terang Indra.
Bersifat Universal
Indra dalam pandangannya berpendapat bahwa sifat jaminan sosial universal, maka jaminan sosial pun harus bersifat portable sebagaimana diamanatkan dalam salah satu prinsip SJSN. Portabilitas ini, sambung Indra, dibutuhkan dalam rangka memastikan negara selalu menjamin perlindungan yang diberikan di mana pun rakyat berada dan bekerja. Ketika nantinya seorang PNS menjadi peserta jaminan pensiun dan jaminan hari tua SJSN yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka seseorang yang sebelumnya bekerja di sektor swasta dan kemudian berpindah profesi sebagai PNS, maka tidak perlu lagi khawatir akan kehilangan hak jaminan sosialnya. “Karena telah berlaku prinsip portabilitas, dan Pemerintah selaku pemberi kerja cukup melanjutkan iuran jaminan sosial bagi yang bersangkutan,” tegas Indra. Pada kesimpulannya, Indra menyampaikan bahwa tidak terdapat adanya ketidakharmonisan antara UU ASN, UU SJSN, dan UU BPJS. Indra beranggapan ketiga undang-undang ini harmonis dan sinergis satu sama lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya telah dirugikan karena terjadi pengalihan layanan program TASPEN kepada BPJS. Menurut Pemohon, hal tersebut menimbulkan penurunan manfaat dan layanan. Selain itu, kebijakan atau politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara. Ketentuan tersebut termaktub dalam PP 45/2015 juncto PP 46/2015 yang menegaskan Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun bagi Peserta pada pemberi kerja penyelenggara negara dikecualikan dalam PP tersebut dan diamanatkan untuk diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Pemohon beranggapan, pembentuk undang-undang menghendaki adanya pemisahan pengelolaan program Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua bagi PNS dan Pejabat Negara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena akan menghilangkan hak-hak para Pemohon terkait keuntungan yang selama ini didapatkan melalui keikutsertaan dalam Program Jaminan Sosial dan Tabungan Hari Tua. (Sri Pujianti/Annisa/LA)