JAKARTA, HUMAS MKRI - Pertanyaan-pertanyaan muncul saat kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) President University, Jababeka Cikarang ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (14/2/2020). Di antaranya, pertanyaan mengenai pengujian UU Advokat terkait keberadaan organisasi advokat di Indonesia.
Peneliti Madya MK Pan Mohamad Faiz menjelaskan bahwa beberapa tahun lalu, ada beberapa organisasi advokat di Indonesia. Selain Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), ada juga Kongres Advokat Indonesia (KAI). Kemudian Peradi pecah menjadi tiga organisasi. Termasuk KAI pecah menjadi dua organisasi.
“Di luar organisasi-organisasi advokat tersebut, ada lagi lima organisasi advokat berdiri. Pertanyaan sederhananya, di Indonesia apakah organisasi advokat harus satu saja atau boleh banyak? Kalau dibilang harus satu, MK bakal menyebut dua tahun dari sekarang, kalian harus menyelesaikan masalah ini. Jadi satu atau jadi seperti apa, diberikan kebebasan,” ujar Faiz yang menerima rombongan mahasiswa di Ruang Delegasi MK.
Faktanya, sambung Faiz, dua tahun terjadi kevakuman, tidak ada advokat yang dilantik oleh Mahkamah Agung (MA). Namun kemudian MA kemudian melantik semua advokat, meskipun memiliki dampak, misalnya dari segi kualitas dengan munculnya organisasi-organisasi advokat baru di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga akhirnya, Putusan MK terhadap Perkara Nomor 35/PUU-XVII/2018 menyatakan Peradi sebagai organisasi tunggal advokat.
Selain itu, ada pertanyaan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) di Indonesia. Dijelaskan Faiz, kewenangan penanganan PHP Kada awalnya ditangani oleh Mahkamah Agung, yang mengadili adalah pengadilan tinggi dan pengadilan negeri di berbagai daerah. “Tapi ternyata banyak terjadi inkonsistensi pertimbangan hukum. Misalnya yang memutus di Jakarta berbeda dengan yang memutus di Jawa Barat, juga beda dengan yang memutus di Kalimantan dan Sumatera,” imbuh Faiz.
“Akhirnya DPR memindahkan kewenangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi di Undang-Undang Kepala Daerah. Kewenangan ini diberikan selama belum ada peradilan khusus perselisihan pemilihan kepala daerah. Sehingga Mahkamah Konstitusi masih menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah,” tambah Faiz.
Dalam pertemuan tersebut, Faiz menerangkan sejarah judicial review pada 1803 di Mahkamah Agung Amerika Serikat melalui Kasus Marbury vs Madison. “Kasus pertama kali Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan undang-undang yang dibuat oleh Kongres. Jadi kalau hari ini kita baca Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, tidak akan disebut kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” tegas Faiz.
Bicara tentang Mahkamah Konstitusi, sambung Faiz, MK pertama kali di dunia dikatakan lahir di Austria pada 1920. Tetapi ada klaim dari Ceko, negara tetangga Austria bahwa MK pertama di dunia lahir di Ceko yang lahir 6 bulan lebih dahulu dari MK Austria, namun belum menangani perkara pengujian undang-undang. “Jadi Austria yang menangani perkara pengujian undang-undang lebih dahulu,” ungkap Faiz.
Sedangkan MK Republik Indonesia lahir pada 2003. Meski ketinggalan dua abad kelahiran MK Republik Indonesia dari MK Austria, bukan berarti MK Republik Indonesia jauh tertinggal. “Justru kita semua harus bangga, Indonesia dipercaya menjadi Sekretariat Tetap AACC atau Asosiasi MK se-Asia. Termasuk Indonesia juga menjadi satu-satunya wakil Asia yang duduk di Venice Commission,” ujar Faiz.
Setelah MK Republik Indonesia terbentuk pada 13 Agustus 2003, dalam UUD 1945 disebutkan sejumlah kewenangannya, mulai dari pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu dan memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Terkait pengujian undang-undang, lanjut Faiz, Indonesia dan Korea Selatan misalnya, menjalankan sesuai gagasan Hans Kelsen atau Centralized Model yakni memiliki lembaga Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan model pengujian undang-undang American System atau Decentralized System yang tidak memiliki lembaga Mahkamah Konstitusi. Tetapi kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang ada di tangan Mahkamah Agung.
“Model semacam ini antara lain diterapkan di Amerika Serikat, Singapura dan Australia. Bahkan di Amerika Serikat, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi boleh menguji konstitusionalitas undang-undang,” kata Faiz. (Nano Tresna Arfana/LA)