JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Sidang perdana perkara Nomor 13/PUU-XVIII/2020 tersebut digelar pada Kamis (13/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini dimohonkan oleh Hendra Otekan Indersyah yang berprofesi sebagai wiraswasta. Ia merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada yang menyatakan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Dalam permohonannya, Hendra yang hadir tanpa kuasa hukum menyebut dirinya mempunyai hak konstitusional untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Bakti (SMB) 2017-2022. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada, yaitu Pemohon tidak memperoleh peluang secukupnya untuk turut dicalonkan/mencalonkan diri, yakni mulai penjaringan bakal calon kemudian menjalani fit & proper test, dan seterusnya, dalam Pemilihan Wakil Gubernur (Pilwagub) DKI Jakarta SMB 2017-2022.
“Saya tidak memperoleh peluang untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta masa bakti 2017-2022,” ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Selain itu, Pemohon mendalilkan bahwa seharusnya Pemohon bisa turut memimpin manajemen pemerintahan daerah atau arah kemajuan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam upaya penanggulangan persoalan-persoalan teknik sipil terutama tata air. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Belum Ada Kerugian
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh menitikberatkan kerugian konstitusional dalam permohonan. Menurutnya, Pemohon belum bisa meyakinkan Mahkamah terkait kerugian yang dialami. “Kemudian antara posita dan petitum perlu ada korelasi atau kesesuaian dalam permohonan,” sarannya.
Selain itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan jika Pemohon berkeberatan dengan mekanisme pemilihan wakil gubernur, maka dalil permohonan belum cukup. “Belum terlihat alasan yang kuat. Tadi Bapak bilang kalau bukan pemilih dalam Pilgub DKI Jakarta, jadi dimana kerugian Bapak? Jadi, Bapak harus mencari pasal yang mengatur secara umum mengenai ketentuan yang mengatur pencalonan gubernur meski bukan dari daerah asal, kemudian ditautkan dengan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Ini diperjelas lagi,” kata Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra memaparkan kedudukan hukum menjadi penting dalam permohonan. Meski wiraswasta, Pemohon tetap bisa mengajukan permohonan. “Asal Pemohon bisa menguraikan kerugian yang dialami dengan berlakunya pasal yang diuji,” ujar Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyampaikan Pemohon diberi waktu hingga 26 Februari 2020 pukul 13.00 WIB untuk menyerahkan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/FY/NRA).