JAKARTA, HUMAS MKRI – PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sebagai Pihak Terkait memberikan keterangan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (13/2/2020).
Handy Samot selaku kuasa hukum menyampaikan, RCTI sudah seharusnya dianggap sebagai Pihak Terkait berdasarkan alasan bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta dengan tegas mengakui dan melindungi hak RCTI selaku pemilik hak atas ekonomi yang bersifat eksklusif terhadap seluruh konten karya siarannya.
“Dengan demikian RCTI berhak melarang pihak lain melakukan penyiaran ulang atas konten karya siarannya,” ujar Handy kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Handy, Pasal 32 ayat (1) UU ITE adalah ketentuan hukum yang melindungi RCTI dari tindakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik RCTI.
“Merupakan fakta hukum bahwa Pemohon telah melanggar hak-hak RCTI melalui tindakan Pemohon yang telah dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan siaran ulang konten RCTI dan tetap melakukannya, meski RCTI dengan tegas telah melarangnya serta melakukan perubahan format digital video dan audio atas sinyal transmisi RCTI. Berdasarkan hal tersebut, maka jelas RCTI merupakan Pihak Terkait yang berkepentingan langsung,” urai Handy.
Selain itu, sambung Handy, permohonan Pemohon tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang MK, “Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 …”.
“Pemohon tidak sedang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Namun Pemohon justru melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang. Pengujian yang dilakukan Pemohon merupakan implementasi norma, sebagai pertentangan norma yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon,” jelas Handy.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU No. 11/2008, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Juga Pasal 25 ayat (2) huruf a UU No. 28/2014, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran …”
Pemohon mendalilkan, telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna A./Halim/LA)