JAKARTA, HUMAS MKRI - Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, dan Redno Sri Rezeki yang berprofesi sebagai hakim pengadilan pajak mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 yang digelar pada Rabu (12/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945. Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, ”Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.” Sementara Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.”
Dalam sidang pertama ini, Haposan yang merupakan salah satu Pemohon menyebutkan ketentuan norma a quo merugikan karena pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua yang diusulkan Menteri dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menimbulkan masalah. Hal tersebut berkaitan dengan sistem pengangkatan dan pemberhentiannya, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Lebih lanjut, Haposan menilai, bahwa UU a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon Ketua dan Wakil Ketua pengadilan pajak sebelum dimintakan persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Keuangan.
Para Pemohon juga mengatakan bahwa sejak adanya pengadilan pajak pada 2002, mekanisme pengusulan calon ketua dan wakil ketua dilakukan secara berbeda, yakni pernah dilakukan melalui mekanisme pemilihan dari dan oleh hakim untuk selanjutnya diusulkan kepada menteri keuangan. Selain itu, pernah juga didasarkan atas usulan dari ketua periode sebelumnya menjelang masa pensiun. “Dengan demikian, inkonsistensi mekanisme pencalonan pimpinan pengadilan pajak tersebut tidak lepas dari tidak adanya pengaturan mekanisme pencalonan ketua dan wakil ketua,” ujar Haposan.
Selain itu, para Pemohon juga menyebutkan bahwa UU Pengadilan Pajak tidak menyertakan masa jabatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Diakui para Pemohon bahwa fungsi pemimpin dalam suatu organisasi modern tidak dapat dibantah. Karena hal tersebut merupakan suatu yang sangat penting bagi kemajuan organisasi. Sebagai sebuah organisasi publik, maka pengadilan pajak dipimpin oleh ketua dan wakil ketua pengadilan pajak dengan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UU a quo. Dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan ini, berpotensi membuat seseorang otoriter, penyalahgunaan kekuasaan, tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi, dan timbulnya kultus individu. Untuk itu, para Pemohon dalam petitum meminta agar Mahkamah menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945.
Norma Umum
Mencermati permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul memberikan nasihat agar Pemohon memperkuat kedudukan hukumnya. Sebaiknya, Pemohon menyertakan norma umum yang menggambarkan alasan kerugian konstitusionalnya atas keberlakuan pasal a quo sebagai perbandingan pertentangannya dengan UUD 1945. Selain itu, Manahan pun meminta agar uraian alasan permohonan terkait dengan konflik kepentingan atau hal lainnya dapat dijelaskan dengan lebih baik. Sehingga keadaan sebenarnya bisa terlihat antara permasalahan hakim dan pihak tergugat yang disebutkan pada permohonan. “Ini perlu diuraikan keterkaitannya sehingga Mahkamah dapa melihat pertentangan atau pun konflik yang terjadi atas keberlakuan norma a quo,” terang Manahan.
Sementara itu, Enny meminta agar para Pemohon untuk memastikan kehadiran dalam proses persidangan selanjutnya yang saat ini hadir tanpa dikuasakan pada Kuasa Hukum. Pasalnya, jika salah satu prinsipal tidak hadir, maka dapat berdampak pada penilaian ketidakseriusan para Pemohon dalam pengajuan perkara.
Berikutnya, Enny juga mencermati perlunya para Pemohon menjelaskan keterkaitan pasal a quo dengan permasalahan yang terkait dengan konstitusionalitas norma sehingga ada anggapan bahwa norma tersebut sangat merugikan para Pemohon. “Di sini perlu dijelaskan problematika yang runtut dan ada pertentangannya dengan konstitusi serta argumentasi adanya pertentangan norma dengan konstitusi itu apa saja, ini harus dijelaskan,” jelas Enny.
Tidak Diberi Kedudukan
Suhartoyo dalam nasihatnya mengamati keberadaan para Pemohon yang merupakan hakim, dengan mempertanyakan keberadaan pengadilan pajak dalam ketatanegaraan yang tidak diberi kedudukan yang jelas. Menurut Suhartoyo, hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para Pemohon untuk menguraikan kerugian potensial dan faktual yang dialami saat menjabat sebagai pimpinan. Sebelum mengakhiri persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selamba-lambatnya pada Selasa, 25 Februari 2020 pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/ Annisa/LA)
https://youtu.be/NY7_BPEuM0E