JAKARTA, HUMAS MKRI - Gagasan Hans Kelsen yang menyatakan pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif, diberikan tugas untuk menguji produk hukum konstitusional. Melalui konsep ini lahirlah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut dikemukakan Peneliti MK Bisariyadi saat membuka pemaparan menyambut kehadiran 10 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar di Ruang Delegasi MK pada Selasa (11/2/2020).
Lebih lanjut Bisar menyebutkan bahwa kemudian di Indonesia sendiri konsep MK ini pun lahir setelah terjadinya amendemen konsitusi yang berujung pada leburnya struktur ketatanegaraan di Indonesia. Tidak ada lagi MPR yang didaulat sebagai lembaga tertinggi negara karena semua posisi lembaga negara adalah sama. Untuk itu, perubahan ini pulalah yang kemudian melahirkan sebuah kewenangan MK berupa memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Sebagai contoh Bisar mengilustrasikan kewenangan ini misalnya terdapat sebuah kebijakan di daerah kemudian terjadi perselisihan antara DPD dan DPR dengan konflik yang tidak kunjung selesai. Maka, sambung Bisar, hal ini bisa diajukan ke MK. “Sayangnya, kewenangan ini setiap tahun itu kecil, hanya di bawah 10 perkara tiap tahunnya,” jelas Bisar.
Berikutnya Bisar menjelaskan pula mengenai peran MK sebagai pengawal konstitusi. Peran ini menurut Bisar adalah hal yang benar-benar dijaga oleh MK dengan mencermati secara saksama nilai-nilai yang ada dalam konstitusi atau UUD 1945, benar-benar telah sepenuhnya dimuat oleh pembuat undang-undang. Sehingga tidak ada hak-hak konstitusional warga negara yang terlanggar atau dirugikan dari keberadaan sebuah norma.
Dipenghujung narasinya, Bisar mengajak serta para mahasiswa yang telah tergabung dalam dunia hukum untuk terus membekali diri dengan tiga hal utama, yakni kekuatan membaca, kemampuan menulis, dan keinginan berdiskusi. Sebagai seorang peneliti, Bisar sangat merasakan bahwa penguasaan bahasa dalam dunia hukum dengan tiga bekal kemampuan tersebut adalah sangat penting. Sehingga diharapkan di masa mendatang, para pakar hukum tak hanya jago berteori tetapi juga memiliki daya saing dan juga naluri yang tajam dalam analisis hukum yang dilakukannya sehingga bermanfaat bagi perkembangan kehidupan masyarakat secara lebih luas.
(Sri Pujianti/NRA).