JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (5/2/2020). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh sembilan orang Pemohon yang terdiri atas Pensiunan PNS, advokat, tokoh pemuda, dosen, dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci. Melalui permohonan, para Pemohon mendalilkan Pasal 13 ayat (4) dan ayat (7) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan UUD 1945.
Heru Widodo selaku kuasa hukum menjabarkan beberapa perbaikan permohonan yang dilakukan pihaknya. Salah satunya untuk memperkuat legal standing, para Pemohon menggandeng Bupati Kerinci Adirozal dan Ketua serta Wakil Ketua DPRD Kerinci. Sehubungan dengan penambahan Pemohon tersebut, sambung Heru, pihaknya pun menambahkanpasal yang diujikan dalam permohonan a quo.
“Pemohon pun akhirnya menambahkan Pasal 14 ayat (1) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh yang terkait dengan kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kerinci,” jelas Heru dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Selanjutnya dalam sidang perbaikan ini, para Pemohon juga mengurangi pasal yang dijadikan batu uji dalam perkara a quo. Pada awalnya para Pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Kemudian hanya menggunakan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2).
Dalam sidang sebelumnya para Pemohon menyatakan materi muatan pasal a quo menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Permasalahan ini berawal dari pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh, sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibat dari perbedaan dari hasil pemekaran Kabupaten Kerinci, terjadinya perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Dengan terbaginya wilayah menjadi dua daerah otonom merupakan konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran.
Dampak dari pemekaran ini adalah pemindahan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan kabupaten induk yang sejak awal berdirinya menjadi pusat segala kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi, pendidikan, dan berbagai bangunan perkantoran yang memiliki nilai sejarah. Sehingga permasalahan ini tidak muncul apabila pemekarannya adalah menjadi kabupaten baru. Selain itu, kendati Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibu kota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan pada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di Desa Bukit Tengah yang masih minim infrastruktur. Berikutnya, permasalahan ketiga adalah pemindahan personel, penyerahan aset, dan dokumen pada daerah otonom atas aset yang terletak di wilayah daerah otonom baru. Hal inilah yang mendorong permasalahan konstitusionalitas terlanggarnya hak konstitusi para Pemohon. Norma a quo dalam pelaksanaannya bersifat dua tafsir yang berseberangan bahwa pemekaran dalam bentuk kota mempunyai kekhususan dalam hal keberadaan sebagian besar aset milik kabupaten induk berada atau terletak di daerah otonom yang dimekarkan.(Sri Pujianti/Lambang/LA)