JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebanyak 50 orang dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (5/2/2020). Peneliti Luthfi Widagdo Eddyono menerima para mahasiswa di Aula Gedung MK.
Luthfi menerangkan bahwa kedudukan lembaga-lembaga negara di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 adalah setara dan ada mekanisme checks and balances. “Tidak ada yang lebih tinggi. Yang membedakan adalah fungsinya. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amendemen, MPR adalah lembaga tertinggi negara,” kata Luthfi.
Dikatakan Luthfi, MK yang terbentuk pada 13 Agustus 2003 memiliki sejumlah kewenangan. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
“Undang-undang diuji di MK banyak sekali. Sejak 2003 sampai sekarang, grafik pengujian undang-undang terus meningkat. Misalnya UU Pemilu dan UU KPK, paling sering diuji. Undang-undang yang sama boleh diuji kembali, baik pasal maupun frasanya, asalkan ada perbedaan batu ujinya atau perbedaan alasan konstitusional,” ucap Luthfi.
Kewenangan MK berikutnya memutus perselisihan hasil pemilihan umum. MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik. Selain itu MK berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
“Kemudian ada satu lagi ‘kewenangan’ dalam konstruksi pembahasaan. Tapi dalam konstruksi literasi UUD 1945 disebutnya sebagai kewajiban, yaitu memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum. Namun kewenangan tersebut tidak disebutkan mengikat. Karena setelah pendapat DPR diputus MK, maka akan diserahkan ke MPR. Selanjutnya MPR akan memproses untuk menentukan apakah impeachment berlanjut atau tidak,” papar Luthfi.
Lebih lanjut Luthfi menyampaikan berbagai hal terkait amendemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002. “Proses amendemen UUD 1945 tidak datar-datar saja, banyak peristiwa terjadi. Contohnya pemakzulan Presiden Gusdur tidak dilakukan secara hukum, tapi proses politik. Tapi kemudian MPR berpikir, tidak baik juga memakzulkan Presiden hanya dengan proses politik. Maka dibentuklah MK yang diberikan kewenangan terkait pemakzulan Presiden,” imbuh Luthfi.
(Nano Tresna Arfana/NRA)