JAKARTA, HUMAS MKRI - Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding mengatakan, ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap semua orang tanpa terkecuali atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik perorangan atau milik publik.
“Karena informasi elektronik maupun dokumen elektronik rentan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga merugikan orang lain atau masyarakat,” ungkap Syarifuddin dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Selasa (4/2/2020) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 32 ayat (1) UU ITE menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Lebih lanjut Syarifuddin menegaskan, ketentuan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta memberikan perlindungan dan kepastian hukum lembaga penyiaran atas hasil produksinya yang menggunakan sumber daya dan usaha yang tidak sedikit. Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta menyebutkan, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran … “
Pengulangan Siaran
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan hadir dalam sidang MK mewakili Pemerintah. Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU ITE mengatur setiap orang harus memiliki hak terlebih dahulu sebelum melakukan transmisi informasi elektronik milik orang lain. Hak tersebut dalam penyelenggaraan penyiaran diperoleh berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran terkait kewajiban Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran dan ketentuan Pasal 25 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Cipta dan Pasal 43 Undang-Undang Penyiaran terkait keharusan memperoleh izin dari Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sebagai pemegang hak ekonomi atas siarannya.
“Berdasarkan hal tersebut menjadi jelas bahwa Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ITE tidaklah inkonstitusional,” tegas Semuel.
Sementara terhadap ketentuan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta yang dianggap merugikan Pemohon, menurut Pemerintah, dalam hal suatu lembaga penyiaran menyiarkan secara simultan konten siaran milik lembaga penyiaran lainnya, maka hal tersebut merupakan kegiatan penyiaran ulang siaran.
Menurut Pemerintah, tindakan Pemohon termasuk dalam penyiaran ulang siaran. Dengan demikian, kegiatan penyiaran yang dilakukan oleh Pemohon harus juga memperoleh izin dari LPP dan LPS sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) UU Hak Cipta. Maka menjadi jelas bahwa frasa “penyiaran ulang siaran” dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta tidaklah inkonstitusional.
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, Pemohon Perkara No. 78/PUU-XVII/2019 mendalilkan telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “Penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna Arfana/Halim/LA)