JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/2/2020) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang gabungan perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019, dan Nomor 79/PUU-XVII/2019 ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Anggota Komisi III DPR Arteria menyampaikan keterangan terkait kewenangan KPK melakukan penyadapan. Menurut DPR, KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Semua kewenangan tersebut menunjukkan adanya kewenangan khusus dan luar biasa dalam upaya pemberantasan korupsi. “Kewenangan besar tersebut harus diimbangi dengan kehati-hatian sehingga tidak disalahgunakan. Penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia. Semua itu harus diatur demi menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi serta ketepatan penegakan hukum,” kata Arteria di hadapan Pleno Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Pengaturan penyadapan dalam UU KPK, menurut DPR, justru lebih memberikan kepastian hukum karena pengaturan sebelumnya tidak mengatur pemberian izin oleh Dewan Pengawas sehingga Pimpinan KPK dapat langsung melakukan tindakan.
Selanjutnya, DPR menanggapi tidak adanya kantor perwakilan KPK di daerah. Arteria mewakili DPR menegaskan, tidak adanya perwakilan KPK di daerah merupakan langkah pembentuk undang-undang untuk mengefisienkan kinerja KPK sebagai suatu lembaga penegak hukum tanpa mengurangi kewenangan KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi di daerah.
Sementara itu Pemerintah diwakili oleh Agus Hariadi menyampaikan keterangan terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan Konvensi United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). “Sesuai Konvensi UNCAC 2003, penambahan badan dalam upaya pemberantasan korupsi tidak bertentangan dengan kaidah hukum antikorupsi. Namun sebagai wujud kewajiban negara, (negara) mengevaluasi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi,” ungkap Agus selaku Koordinator Staf Ahli Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian, pembentukan dewan pengawas, menurut Pemerintah, merupakan upaya mengimplementasikan kewajiban negara untuk mengembangkan kebijakan antikorupsi.
Selain itu, ditegaskan bahwa Pemerintah dalam membentuk UU KPK merujuk pada perubahan UUD 1945, yaitu bahwa tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Yang ada yaitu lembaga-lembaga negara yang kedudukannya setara. Tidak ada lagi kekuasaan yang bersifat absolut. "Sehingga secara kewenangan, KPK tidak lagi bersifat absolut. Namun, telah disesuaikan dalam penerapan sistem pemerintahan yang berlandaskan UUD 1945. Oleh karena itu dalil para Pemohon bahwa pembentukan Dewan Pengawas melemahkan pemberantasan korupsi adalah tidak berlandaskan hukum,” ucap Agus.
Sebagaimana diketahui, Gregorius Yonathan Deowikaputra sebagai Pemohon perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media massa, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup, tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Adanya fakta tersebut, menurut Pemohon, jelas bahwa UU KPK tidak dilandasi dengan adanya asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” serta “keterbukaan” yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan, karena UU No. 15/2019 tentang Perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baru disahkan pada 2 Oktober 2019 dan diundangkan pada 4 Oktober 2019 dalam Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183. Sementara proses pembentukan UU KPK berakhir pada 17 September 2019.
Sementara perkara Nomor 71/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh UU KPK justru menyimpang dari sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Kewenangan Dewan pengawas KPK telah melampaui batas pengawasan, karena Dewan Pengawas memiliki kewenangan untuk memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan. Hal demikian menunjukkan bahwa Dewan Pengawas lebih superior dan memiliki kewenangan lebih besar daripada pimpinan KPK. Padahal standar larangan etik, potensi benturan kepentingan serta syarat menjadi pimpinan KPK jauh lebih berat daripada Dewan Pengawas.
Selanjutnya Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK telah memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat diskriminatif. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK menjadi tidak relevan untuk diterapkan sepanjang dimaknai “bahwa hanya profesi/instansi-instansi pemerintah” sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo dalam mempersyaratkan seseorang untuk menjadi Penyelidik KPK. Hal tersebut menyebabkan hanya orang yang berasal dari profesi/instansi-instansi pemerintah tersebut yang oleh Pimpinan KPK dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Penyelidik KPK.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk. Selaku para Pemohon perkara Nomor 77/PUU-XVII/2019 melakukan pengujian materiil Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 69A ayat (1), dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 adalah Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif dkk. Para Pemohon berpandangan, pembentuk UU sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang dipandang Pemohon menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh UU KPK.
(Nano Tresna Arfana/Raisa/NRA)