JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap UUD 1945.
Permohonan uji materiil UU Pilkada ini diajukan oleh Michael, seorang mahasiswa semester 6 di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta.
Sidang perkara Nomor 7/PUU-XVIII/2020 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (3/2/2020) dengan dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra. Dalam permohonannya, Michael mendalilkan Pasal 176 UU Pilkada bertentangan dengan beberapa pasal, di antaranya Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945.
Hadir tanpa didampingi kuasa hukum, Michael menyebutkan dalam analoginya bahwa apabila seorang menteri dipilih presiden, ketika menteri tersebut mengundurkan diri, maka penggantinya tetap dipilih oleh presiden. Demikian juga seharusnya dengan kepala daerah, ketika masyarakat memilih kepala daerah, pemilihan penggantinya pun harus tetap dipilih oleh masyarakat juga. Hal ini, sambung Michael, telah terjadi dalam sebuah kasus konkret pada 2017 atas diangkatnya Djarot Syaiful Hidayat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahja Purnama. Menurut Pemohon, hal ini bermakna seseorang dapat saja menduduki suatu posisi kepala daerah tanpa melalui proses pemilihan kepada daerah (pilkada).
“Sehingga Pasal 176 UU Pilkada menciderai syarat 50 persen plus 1 suara sebagai syarat penetapan calon kepala daerah,” terang Michael.
Adapun Penetapan seorang kepala daerah yang diatur dalam Pasal 54D UU Nomor 1 Tahun 2015 adalah mereka yang mendapatkan suara sah lebih dari 50 persen ditambah satu suara, sedangkan angka apresiasi suatu partai politik tidak ada yang mencapai angka tersebut. Sehingga, ketika wakil kepala daerah ditunjuk oleh partai politik tidak memenuhi syarat dalam melakukan penunjukan wakil kepala daerah.
Selain itu, Michael juga berpendapat bahwa penunjukan wakil kepada daerah oleh partai politik pengusung memakan waktu yang lebih lama daripada pemilihan umum. Misalnya dalam kasus jabatan wakil Gubernur DKI Jakarta yang telah kosong sejak 27 Agustus 2018 yakni 1 tahun 8 bulan. Padahal pelaksanaan pemilihan umum, misalnya pemilu presiden 2019 hanya memakan waktu 7 bulan. Oleh karena itu, jelas Michael, agar penunjukan wakil gubernur dilakukan dengan mekanisme pemilu. Akibat dari hal ini, DKI Jakarta mengalami kendala dalam menyelesaikan APBD 2020 ditambah pula banjir Jakarta yang cukup besar pada awal bulan serta penyerapan anggaran DKI yang buruk. Hal ini merupakan kerugian konstitusional yang tidak hanya dialami Pemohon, namun juga seluruh warga DKI Jakarta.
“Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 serta memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk segera menyelenggarakan pemilhan umum memilih wakil gubernur DKI Jakarta,” ucap Michael saat membacakan petitum permohonannya.
Peristiwa Konkret
Menanggapi permohonan a quo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon menguraikan lebih lengkap terkait kategori pemilihan secara demokratis yang dimaksudkan oleh Pemohon, yakni pemilihan langsung dan dipilih DPRD. “Mengingat di Indonesia pernah diberlakukan kedua sistem pemilihan tersebut,” kata Arief.
Di samping itu, dalam permohonan Arief mendapati bahwa Pemohon juga belum menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami atas keberlakukan norma tersebut.
Senada dengan pernyataan Arief tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra juga meminta agar Pemohon menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialaminya, baik secara faktual maupun potensial. “Terangkan mengapa keberlakuan pasal a quo merugikan,” kata Saldi.
Selain itu, Daniel meminta agar Pemohon menyempurnakan sistematika permohonan serta memperkuat legal standing-nya sebagai perseorangan warga negara. Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 12 Februari 2020 ke Kepaniteraan MK.
(Sri Pujianti/NRA).